Skip to main content
Artikel

Fatin Halimar di Barak Para Serdadu yang Merindu

Dibaca: 2098 Oleh 25 Apr 2017Tidak ada komentar
#TNIAD #TNIADMengabdiDanMembangunBersamaRakyat

TNI AD – Atambua. Para serdadu di perbatasan negara ini sudah cukup lama tak bertemu pacar, istri, ibu, dan ayah. Pria-pria gagah dilanda rindu. Dalam kondisi ini, Fatin Halimar selalu ada untuk mereka.

Langkah-langkah riang enam anak kecil terhenti di depan Pos Turiskain, tempat Satuan Tugas Pengamanan Indonesia menjaga perbatasan di hadapan Timor Leste. Mereka bercanda dan tertawa satu sama lain.

Salah seorang tentara kemudian menghampiri anak-anak itu. Dengan baju loreng plus baret, tentara itu tersenyum mencandai mereka. Anak-anak itu memang sudah sering bermain-main di halaman barak serdadu perbatasan ini.

“Kami berupaya mengenal, membiasakan diri, mempelajari bahasa-bahasa mereka,” kata Komandan Kompi Tempur II Lettu Sidiq Tri Kuncoro di halaman Pos Turiskain, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu, Jumat (31/3/2017).

fatin1

Anak-anak tadi itu kemudian berfoto bersama tentara berseragam itu. Tentara di sini berasal dari Batalyon Infanteri Raider 641/Beruang. Mereka memang berusaha membaur dengan warga perbatasan. Satuan mereka bermarkas di Kalimantan Barat, mayoritas personel berlatar belakang etnis Jawa.

Di tempat ini, mereka dihadapkan dengan kondisi yang baru. Ada empat suku dominan di Kabupaten Belu daerah tapal batas ini, yakni Suku Tetun, Bunak, Kemak, dan Dawan. Para tentara yang mayoritas beretnis Jawa itu sedikit banyak sudah terdengar berlogat Tetun saat mereka bercakap-cakap dengan masyarakat setempat.

Terang saja, mereka sudah sembilan bulan di Belu. Mereka juga sudah hafal setiap jengkal patok tapal batas di daerah ini. Beragam aktivitas dan rutinitas telah mereka lakukan, mulai dari patroli di bawah terik mentari hingga meresapi suasana barak setiap hari.

Di barak, ada ruangan berukuran sekitar 8×16 meter dibagi menjadi dua, yakni ruangan yang dilengkapi satu televisi untuk makan lesehan, berkumpul, atau menonton televisi. Bagian kedua digunakan untuk tempat tidur 15 prajurit, alias jumlah personel setiap pos.

Tempat tidur berbusa tipis ditata berbaris dua bagian, menyisakan jalan di tengah kedua barisnya. Di depan ranjang, ada lemari. Semua tas dan helm ditaruh di atas lemari itu. Tak semua kondisi di sini sempurna.

Baca juga:  TNI Turun ke Sawah

Ada kerinduan yang menyusup masuk barak, yakni kerinduan dengan orang terkasih di tempat asal. Melepas rindu dengan teknologi telekomunikasi tak selalu mudah di titik Turiskain ini. Masing-masing pos perbatasan punya karakteristik sendiri soal sinyal ponsel. Gampang-gampang susah juga mengatasi hal ini.

fatin2

Di Pos Motaain Kecamatan Tasifeto Timur, sinyal lebih mudah ditangkap ponsel ketimbang di Pos Turiskain. Namun kadang-kadang jalannya komunikasi lewat ponsel pintar tak lancar bila dilakukan dari dalam barak.

“Fatin Tur Halimar” kata Pratu Eka, salah seorang personel di Pos Motaain.

Tiba-tiba Pratu Eka menyebut nama itu saat kami berdua berbincang soal cara melepas rindu. Kedengarannya seperti nama seorang perempuan. Namun dari tadi saya tak melihat ada perempuan yang tinggal di barak.

Eka menjelaskan, ‘fatin’ berarti ‘tempat’ dalam Bahasa Tetun. Sedangkan ‘tur’ atau ‘tuur’ berarti ‘duduk’. Adapun ‘halimar’ bermakna ‘bermain’. Kira-kira, Fatin Tur Halimar maknanya adalah ‘tempat nongkrong’. Dia menunjuk ke saung yang ada di halaman pos.

Jadi Fatin Tur Halimar bukanlah manusia, melainkan nama saung yang dibuat dari kayu dan atap ilalang. Biasanya secara bergantian saat petang, para serdadu di Pos Motaain menyambangi Fatin Tur Halimar.

fatin3

“Di situ sinyal lebih kuat ketimbang di atas tempat tidur. Kami video call di situ saat waktu senggang, atau sekadar telepon sama keluarga di rumah,” kata Eka.

Pria 29 tahun asal Tuban ini sering memakai aplikasi Imo untuk melakukan video call dengan koleganya. WhatsApp juga terpasang di ponsel androidnya. Hal yang kadang mengganggu aktivitas telekomunikasinya adalah mati listrik. Listrik biasa padam saat hujan lebat. Padamnya bisa seharian.

“Kalau mati lampu, sinyal dari Timor Leste bisa masuk ke sini. Kita jadi roaming kalau nelpon. Internet putus,” kata Eka yang tak mau wajahnya dipotret ini.

fatin4

Dia berbicara di dekat tempat tidurnya, di sebalik lemari kayu. Sambil merapikan kasurnya, dia mengaku sering menelepon orang tua hingga pacarnya di Jawa Timur. Rasa rindu akan kampung halaman adalah hal manusiawi termasuk bagi dirinya.

Baca juga:  Narkoba Menjadi Musuh Utama Negara

“Sudah dua tahun nggak pulang ke Jawa Timur,” kata Eka di bawah lampu redup.

Selama sembilan bulan di perbatasan ini para personel memang tidak cuti. Setelah selesai tugas ini, barulah mereka bisa mengambil cuti untuk pulang. Secara formal, ada jatah cuti 14 hari bagi masing-masing mereka.

Cuti akan diberikan dengan pertimbangan yang matang dari atasan. Bahkan saat Hari Raya Lebaran-pun, dia juga tidak pulang kampung.

“Kecuali kalau ada orang tuanya yang meninggal, baru bisa pulang kampung mendadak,” kata Eka.

Toh pulang kampung terlalu sering juga tak sehat untuk kocek. Maklum, gaji tentara seperti Eka tak terlau berlebih. Namun dia bersyukur, gajinya itu masih bisa membantu orang tua di desanya, bahkan bisa menabung.

“Disyukuri saja. Ini semua sudah tanggung jawab, demi negara. Dan saya juga dari dulu cita-citanya jadi tentara,” ujar Eka.

Sekitar lima langkah dari tempat tidurnya, terdapat radio komunikasi. Dia menjelaskan radio itu harus selalu ada penjaganya, satu orang ditugasi khusus untuk itu. Selain radio, di pos harus ada dua orang yang bertugas memasak, posisinya selalu digilir. Dua orang lagi harus ada untuk bertugas menjaga pos. Satu orang lagi yang harus siaga adalah komandan pos atau wakil komandan pos.

“Jadi minimal harus ada enam orang di pos,” kata Eka.

Dari 15 orang, paling tidak enam orang harus ada di pos. Sisanya bisa keluar berpatroli atau menjalankan tugas lain di luar.

Di sebelah kiri selang satu ranjang, sejumlah prajurit sedang menyalakan laptop dan melihat film bersama. Di sisi yang lain, ada yang sekadar rebahan sambil memegangi ponselnya. Beginilah suasana malam hari di Pos Motaain.

Di bagian belakang, ada kamar mandi dengan dua bak besar. Kanar mandi ini memang berbentuk memanjang tanpa sekat, didesain untuk dipakai mandi beramai-ramai sekaligus, alias mandi bersama.

fatin5

“Nggak bahaya, kami normal semua kok,” kata seorang prajurit bertelanjang dada dengan handuk di bahunya.

Baca juga:  Danrem 102/Pjg Hadiri Upacara Gelar Pasukan Pengamanan Natal dan Tahun Baru TA. 2014

Di ruangan bagian depan, televisi sedang dinyalakan, lampu lebih terang ketimbang di area lainnya. Sejumlah personel duduk bersila membersihkan pistol dan senapan serbu. Nampak ada kain lap dan oli pelumas di depan mereka.

Salah satu yang duduk bersila di ruangan ini adalah Komandan Kompi Tempur I, Lettu Inf Miftakhul Khoiron. Dia bisa memaklumi kerinduan akan kampung halaman yang menghinggapi para bawahannya.

Di kesempatan lain, Miftakhul bercerita dia juga punya istri yang tinggal di Markas Batalyon Infranteri Raider 641 di Kalimantan Barat. Kerinduan juga menghinggapinya. Dia bisa memaklumi kondisi prajurit lainnya.

“Ada yang punya istri, ada yang waktu berangkat istrinya hamil. Ada yang pulang nanti anaknya sudah hampir delapan bulan. Tentu ada perasaan kerinduan,” tuturnya.

Dia percaya semua prajurit menyadari tugas di perbatasan adalah suatu kehormatan bagi tentara. Maka faktor-faktor yang mengganggu tugas harus dikesampingkan.

“Kami harus menetralisir kerinduan itu agar tidak mengganggu tugas,” ujar Miftakhul.

fatin6

Sama seperti prajurit lainnya, aktivitas telekomunikasi juga sering dia lakukan. Secara umum, dia menilai sinyal di sini sudah bagus meski kadang sinyal Timor Leste masuk juga. Dia memakai kartu dari Telkomsel.

“Provider Telkomsel. Setahu saya hanya Telkomsel (sinyal ponsel asal perusahaan Indonesia di kawasan perbatasan ini),” kata Miftakhul.

Lain di Motaain, lain di Turiskain. Di pos yang tak jauh dengan Sungai Malibaka ini, sinyal dari Timor Leste terasa lebih kuat menginvasi barak TNI penjaga perbatasan. Para personel memilih solusi praktis saja demi kelancaran hidup di perbatasan, yakni menggunakan kartu SIM dari perusahaan Timor Leste.

“Simpati (Telkomsel) sewaktu-waktu juga kami gunakan,” kata Lettu Sidiq tak jauh dari Sungai Malibaka.

fatin7

Tak terasa masa tugas sembilan bulan dari para prajurit Yonif Raider 641/Beruang ini akan segera berakhir. Sebagian barang-barang mereka sudah dikemas-kemasi untuk dipulangkan ke markas di Kalimantan Barat. Berikutnya, para prajurit inilah yang akan pulang, melepas rindu dengan pacar, atau istri, anak, orang tua, dan sanak saudara lainnya. (dnu/fjp) (sumber: detik.com)

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel