
SEORANG warga negara bernama Sumarmisasih mempersoalkan ketentuan pada Pasal 353 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Peradilan Militer yang mengatur mengenai hukum acara tata usaha militer ke Mahkamah Konstitusi.
Pasal tersebut mengamanatkan kepada pemerintah untuk selambat-lambatnya membuat aturan mengenai pengadilan tata usaha militer selambat-lambatnya tiga tahun sejak UU Peradilan Militer diundangkan.
Pemohon mendalilkan haknya untuk mendapatkan keadilan terhambat karena peradilan militer menolak menangani sengketa menyangkut tanah antara dirinya dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto dengan alasan belum tersedianya aturan mengenai tata usaha di peradilan militer.
Padahal, pengadilan tidak bisa menolak satu perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya, ujar kuasa hukum pemohon Gatot Geoi saat sidang pendahuluan yang diketuai hakim Patrialis Akbar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, kemarin.
Gugatan ke Pengadilan Tinggi Militer bermula dari sengketa tanah antara pemohon dan pihak Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.
Pemohon selaku direktur perusahaan yang bergerak di bidang pemakaman dan rumah duka menyewa sebidang tanah hak pakai dari koperasi primer di RS Gatot Subroto.
Kemudian Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) mengeluarkan surat telegram yang berisi perintah pengosongan serta pemutusan hubungan kerjasama kontrak atas tanah milikTNI AD atas nama Kodam Jaya.
Setelah itu, pemohon menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Militer, tetapi dinyatakan tidak bisa disidangkan sebab terbentur oleh aturan bahwa pengadilan militer belum mempunyai perangkat untuk menyidangkan perkara tata usaha negara.
Ketika menanggapi hal itu, hakim konstitusi Suhartoyo mengatakan tidak ada norma yang dianggap inkonstitusional atau bertentangan dengan undang-undang pada Pasal 353 UU Peradilan Militer.
Bahwa hingga batas waktu yang telah ditentukan ternyata masih belum ada peraturan perihal hukum acara tata usaha negara di peradilan militer, itu merupakan kesalahan pemerintah.
Secara kasat mata persoalannya pada pemerintah yang belum mengeluarkan PP mengenai peradilan tata usaha militer, ujar Suhartoyo.
Hakim Aswanto menimpali, pemohon harus dapat mengelaborasi kerugian konstitusional atas berlakunya Pasal 353 UU Peradilan Militer. (Sumber: HU Media Indonesia)