
Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menegaskan bahwa program bela negara bukan merupakan wajib militer. Dalam program tersebut masyarakat diberi penjelasan terkait dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kebangsaan. Tujuannya, pemikiran masyarakat tidak mudah dipengaruhi, paham-paham yang ingin memecah belah bangsa.
Hal itu disampaikan Ryamizard setelah rapat dengan Komisi I DPR di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin, tanggal 19 Oktober 2015. Dia menjelaskan, program tersebut mengedepankan pemberian informasi kepada masyarakat. Ujung-ujungnya, masyarakat akan setia kepada negara, katanya.
Ke depan, bela negara dimasukkan dalam kurikulum sekolah dasar (SD). Materi tentang bela negara diselipkan sekali dalam satu minggu. Hal itu bisa dilakukan lewat mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.
Banyak kalangan yang meragukan program bela negara. Terlebih, program tersebut menghabiskan anggaran negara sampai Rp 500 miliar dan tidak punya payung hukum yang jelas.
Ryamizard membantah hal itu. Menurut dia, sudah ada payung hukum yang mengatur kegiatan bela negara, yakni UUD 1945 dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Nasional. Dia juga membantah tudingan bahwa program bela negara menyedot anggaran sampai ratusan miliar Sampai saat ini Kementerian Pertahanan (Kemenhan) masih menghitung anggaran yang akan digunakan.
Di sisi lain, anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin mendukung program bela negara. Meski begitu, dia menegaskan, ada empat poin yang harus diperhatikan agar program tersebut sukses. Pertama, seperti apa kebijakan bela negara ketika presiden sudah berganti. Kedua, siapa yang melaksanakan prograrm tersebut Apakah Kemenhan atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan? katanya.
Poin ketiga adalah siapa yang ikut program itu. Selama ini hal tersebut belum jelas. Apakah siswa atau orang yang berusia lanjut. Poin keempat terkait dengan mekanisme kurikulum serta anggaran yang digunakan. Itu harus dipikirkan, tuturnya.
Hasanuddin menegaskan bahwa bela negara merupakan konsep yang selaras dengan revolusi mental. Hal itu sangat penting untuk bangsa Indonesia. (Sumber: HU JawaPos)