Yati (40) tertegun saat suaminya, Eri (40), pengemudi becak di Pinang Baris, Medan, memberikan dua potong kecil ayam goreng kepadanya Ayam goreng itu dimasukkan ke dalam plastik bekas gelas air mineral. Yati sempat bingung. Tampaknya suami Yati tidak memakan ayam gorengnya sehingga ia membungkus dan memberikan kepada istrinya untuk dibawa pulang.
Yati dan Eri, Senin, 8 Februari 2016, dijamu makan siang oleh tokoh multikultur Kota Medan, Sofyan Tan, pada open house perayaan tahun baru Imlek 2016 di rumah Sofyan di Kompleks Taman Kasuari, Medan.
Ratusan warga bersama Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi, Kepala Kepolisian Daerah Sumut Inspektur Jenderal Ngadino, Panglima Daerah Militer I Bukit Barisan Major Jenderal TNI Lodewyk Pusung, Wali Kota Medan terpilih Zulmi Eldin, dan sejumlah tokoh masyarakat Sumut menikmati hidangan sederhana. Makanan yang tersedia di empat meja prasmanan adalah ayam goreng, taoco, gulai nangka, dan kerupuk.
Sofyan, yang kini anggota Komisi VII DPR dari PDI-P dan lebih sering di Jakarta, tetap menggelar open house di Medan. Tiga tahun ini saya datang kalau Rak Sofyan Tan open house, kata Yati, perempuan Jawa yang berhijab.
Ratusan tamu dari berbagai kalangan hadir sejak pukul 12.00 hingga pukul 18.00. Tetangga saya bahkan tadi datang bersama lima anaknya, tutur Yati.
Tamu pejabat duduk di ruang tamu keluarga yang tidak terlalu lebar, sedangkan warga duduk di deretan kursi merah yang disusun di jalan depan rumah Sofyan Tan. Semua nyaman dijamu makan sederhana, tak ada yang istimewa.
Keistimewaan yang terjadi justru pada terasanya kekayaan multikultur di Medan dalam makan siang itu. Sofyan Tan yang Tionghoa dan beragama Buddha mendapat ucapan selamat tahun baru dari beraneka suku yang ada di Medan, seperti Tionghoa, Melayu, Jawa, Batak Toba, Karo, Nias, Mandailing, Simalungun, Pakpak, India, dan Padang. Semua hadir merayakan kedatangan .Tahun Monyet Api. Pemeluk Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha memberikan selamat. Tukang becak hingga gubernur.
Sofyan mengatakan, ia tak pernah membagi angpao saat perayaaan Imlek untuk masyarakat Mereka hadir bukan karena uang, katanya. Semua hadir untuk mengucapkan selamat tahun baru. Gong Xi Fat Chai.
Namun, yang lebih tinggi daripada itu adalah perayaan akan kehidupan multikultur di Medan yang terjaga harmonis.
Badan Pusat Statistik Sumut dalam demografi.bps.go.id Kewarganegaraan Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa sehari-hari penduduk Indonesia menyebutkan, belasan suku ada di Sumut. Suku Batak menjadi suku terbanyak dengan jumlah 5,7 juta orang. Namun, BPS menggabungkan laporan Batak sebagai satu kesatuan,meskipun sejatinya terdiri dari Batak Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak Dairi, Angkola, Tapanuli, dan Dairi. Tradisi dan kebudayaan masing-masing suku ada perbedaan.
Suku Jawa 4,3 juta jiwa, Melayu (771.600), Tionghoa (340.300), dan suku lain seperti India, Banten, Sunda, Cirebon, Madura, Dayak, Papua, dan lainnya berjumlah ribuan orang. Medan adalah kota bercampurnya suku-suku itu.
Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Medan Usman Pelly mengatakan, tidak ada suku dominan di Medan. Dominan dalam hal ini adalah jumlahnya terbanyak, menguasai perekonomian, dan memiliki kebudayaan yang dominan. Berbeda dengan daerah lain yang punya suku dominan, suku lain yang masuk ke daerah itu akan luluh mengikuti suku dominan. Di Medan, semua suku tumbuh bersama membentuk kebudayaan sendiri, budaya Medan, yang egaliter dan toleran. (Sumber: HU Kompas)