Balikpapan. Warnanya merah selayaknya teh. Aromanya harum rempah. Ketika diseruput maka rasa yang timbul menghangatkan tenggorokan seperti air jahe atau wedang.
Tapi jangan salah, minuman ini bukan dari daun teh atau pun wedang jahe melainkan dari serai yang biasa dijadikan bumbu dapur. Penemu teh serai adalah Serka Eko Tamomo yang berdinas sebagai Babinsa Kotabangun, Kutai Kartanegara.
“Bahan yang digunakan murni batang serai putih dan awal mula merupakan minuman ramuan yang biasa diolah orangtua ketika ada keluarga sedang sakit. Serai itu digeprek dan air rebusanya diminumkan,” kata Eko memulai cerita teh serai miliknya.
Dari situ kemudian Eko mendapatkan inspirasi untuk membuat teh serai yang diberi merek Etam. “Pertama kali coba dibuat teh seduh, semakin berkembang lalu dibuat teh celup,” ujarnya lantas kemudian menggandeng petani untuk menanam agar dirinya mendapatkan serai.
“Saya sampaikan ke mereka agar menanam serai di kebun dan penjualannya bisa untuk menambah penghidupan keluarga, karena saya tahu serai itu termasuk sulit dijual dalam jumlah besar, laku banyak cuma di hari-hari besar saja, tidak signifikan kalau di hari biasa,” lanjutnya.
Serai pasokan petani itu berasal dari kelurahan Jahab, Desa Kendangraya serta di desa Jonggon. “Serai dibersihkan dengan cara dicuci kemudian dipotong lalu dijemur dalam ruangan khusus selama 3-4 hari untuk mengurangi kadar air,” kata Eko menjelaskan cara pembuatan.
“Setelah itu masuk proses peng-oven-an dan pada proses ini, saya berulang kali gagal karena tidak boleh terlalu matang apalagi sampai menghitam karena rasa dan aroma berubah. Begitu pula kalau kurang matang. Jadi harus tahu benar caranya. Prosesnya selama 2 jam,” terangnya.
Selama meng-oven, rupanya Eko tidak menggunakan oven berteknologi tinggi sehingga tidak mengetahui suhu yang harus disesuaikan. Bahkan kompor yang digunakan hanya berbahan bakar energi matahari yang dirakit sendiri.
Setelah serai yang di-oven telah kering maka masuk dalam proses penghalusan dengan cara digiling. “Khasiat teh serai ini beragam, bisa pengobatan asam urat, kolesterol, diabetes, rematik termasuk untuk kanker payudara yang dalam fase atau stadium awal,” terangnya.
Pemasaran teh serai dilakukan dengan cara ketok tular alias dari ke mulut karena banyak yang cocok dan mengalami kesembuhan. Pasalnya, dia dan kelompoknya belum siap untuk masuk ke pasar modern atau swalayan dan minimarket.
“Kita juga buka pemesanan secara online. Pernah coba distribusi ke swalayan tapi permintaan mereka terlalu tinggi, lebih dari seribu kotak. Memang dalam sebulan bisa produksi sampai 15 ribu kotak tapi penjualan kita tidak hanya di swalayan saja tapi juga online,” jelasnya.
Hasil penjualan dari teh serai itu bisa mengantongi Rp. 30 juta dalam satu bulan. Harga jual per kotak sebesar Rp. 13.500 untuk agen dan eceran Rp. 15.000. Awal mula dirinya membuat teh serai pada 2012 silam dengan menemui beberapa kali kegagalan.
“Pernah dapat satu pick-up serai dari kota Bontang, ternyata setelah diolah, rasa dan aroma serta warnanya berbeda, akhirnya saya buang. Lumayan juga kerugiannya karena tidak tahu bahwa harus serai putih yang bisa diolah,” ungkap Eko.
Produksi teh serai miliknya kini telah mendapatkan berbagai penghargaan. “Pernah juara 1 BKKBN tingkat Kabupaten Kutai Kartanegara, juara 1 juga di Provinsi Kaltim dan mendapat penghargaan dari Kasad sebagai Babinsa terbaik 2016,” papar pria kelahiran 26 Januari 1973 ini. (sumber: Inibalikpapan.com)