Hasil revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diharapkan tidak menjadi alat untuk memenuhi kepentingan penguasa. Dewan Perwakilan Rakyat masih belum juga membahas revisi tersebut.
Wakil Ketua DPR Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Fadli Zon mengatakan, salah satu harapan DPR terkait pembahasan revisi UU Terorisme adalah jangan sampai UU yang baru nantinya dijadikan alat memenuhi kepentingan penguasa. Jangan sampai UU Terorisme dijadikan alat kepentingan kekuasaan atau negara, kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 10 Maret 2016.
Dia menjelaskan, ketentuan-ketentuan baru dalam RUU Terorisme hendaknya tak berpotensi melanggar HAM. Fadli juga mengingatkan agar RUU Terorisme tidak mengadopsi internal security act milik Malaysia dan Singapura yang bisa menangkap orang atas tuduhan subyektif.
Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo sependapat jika RUU Terorisme harus tetap menjamin perlindungan hak-hak dasar warga negara. Kami akan menjaga agar tidak ada hak-hak dasar warga negara yang dilanggar atau dirampas, katanya.
Hingga kemarin, Pansus RUU Terorisme belum terbentuk Wakil Ketua Komisi III DPR Mulfachri Harahap mengatakan, belum ada rapat konsultasi ataupun rapat Badan Musyawarah yang mengagendakan Rapat Paripurna Pengesahan Pansus RUU Terorisme.
Diserahkan ke TNI
Secara terpisah, Komisi I DPR menilai, penanganan teroris semestinya juga bisa diserahkan kepada TNI. Hal ini disampaikan Ketua Komisi I DPR Mahfuz Sidik dan anggota Komisi I DPR, Effendi Simbolon, seusai rapat dengar pendapat dengan Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI Mulyono di Markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD di Cijantung, Jakarta. Tantangan dan ancaman hari ini dan ke depan bukan lagi perang tradisional, melainkan perang modern yang bersifat asimetris, seperti terorisme, kata Mahfuz.
Effendi menambahkan, KSAD menyampaikan, kendati bukan wilayahnya, kemampuan Satuan 81 (Gultor) Kopassus mampu mengatasi terorisme. Seperti kasus Santoso, masak mereka di bawah polisi, sementara kemampuannya lebih baik, katanya.
Sementara itu, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti kepada Kapolda Sulawesi Tengah yang baru, Brigadir Jenderal (Pol) Rudy Sufahriadi, berpesan bahwa tugasnya adalah menangkap terduga teroris Santoso. Tugas penting saudara adalah menangkap teroris Santoso beserta jaringannya di Poso yang merupakan salah satu operasi dalam program Quick Wins, kata Badrodin. Senin lalu, kepolisian menangkap seorang buronan yang merupakan anggota kelompok Neo Jamaah Islamiyah, Tatak Lusiantoro bin Zahri, di Temanggung, Jawa Tengah. (Sumber: HU Kompas)