sumber: kompas.com
Komarodin (49) bukanlah petani. Ia tidak membudidayakan tanaman apa pun, bahkan tidak punya lahan pertanian. Namun, ia begitu gigih mendorong para petani di Desa Kebonrejo, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, maju dan terbebas dari kemiskinan.
Komarodin
Lahir: Magelang, 28 Oktober 1966
Istri: Suratmi (46)
Anak:
* Alif Abrarudin Anas (22)
* Affanudin Daffa (17)
* M Afrudin Shanda (9)
Pendidikan:
SMK Negeri 1 Magelang
Jabatan:
*Anggota Babinsa Koramil X Candimulyo Kodim 0705 Magelang
*Ketua Kelompok Tani Ngudi Rejo Kecamatan Candimulyo
*Sekretaris Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tani Barokah Desa Kebonrejo, Kecamatan Candimulyo
Komarodin adalah anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) berpangkat sersan satu (sertu) yang bertugas di Koramil X Candimulyo Kodim 0705 Magelang. Namun, ”pangkat” lain juga melekat kepadanya, yaitu Ketua Kelompok Tani Ngudi Rejo dan Sekretaris Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tani Barokah.
Di Kelompok Tani Ngudi Rejo, dia menjadi ”komandan” bagi 38 anggotanya yang terdiri dari petani dan penderes nira. Di Gapoktan Tani Barokah, ia ikut mengurus sembilan kelompok tani, salah satunya Kelompok Wanita Tani (KWT) Srikandi Tani.
Kelompok Tani Ngudi Rejo dan KWT Srikandi Tani adalah dua kelompok tani yang dibentuk atas inisiatif Komarodin. Sejak awal, ia menetapkan aturan bahwa setiap anggota tidak perlu membayar iuran keanggotaan. Baginya, kewajiban membayar iuran adalah ”tradisi” lama yang harus diubah. Dana untuk membiayai dan mengembangkan kelompok tani harus diperoleh dari kegiatan bersama.
Untuk itu, Komarodin tak letih mendampingi dua kelompok tani binaannya itu, termasuk para ibu rumah tangga yang tergabung di Srikandi Tani. Dengan cara itu, kini dua kelompok tani tersebut berhasil mengekspor gula semut ke mancanegara.
Saat Kompas mengunjungi Desa Kebonrejo, pertengahan Agustus, tampak sejumlah warga sibuk mengambil air nira dari pohon kelapa. Sebagian ibu-ibu memasak bahan nira di dapur. Sebagian lagi tengah mengemas gula yang sudah jadi untuk dibawa ke kantor KWT Srikandi Tani.
Lelaki biasa memanen nira dari kebun pada pagi hari. Proses selanjutnya diserahkan kepada para ibu di sela mengurus rumah dan anak-anak. Mereka memasak air nira sekitar tiga jam sampai menjadi kental seperti karamel. Bahan itu didinginkan, lalu dimasak lagi sampai kering dan mengeras menjadi serbuk kasar. Serbuk kemudian diayak sehingga menghasilkan butiran gula semut yang siap dikemas. Proses itu kelar pada siang hari.
Penderes nira
Semangat dan kegigihan Komarodin mendampingi para petani dipicu rasa prihatin melihat kondisi para petani di desanya. Terlahir dari keluarga penderes nira, ia tahu betul bahwa kondisi ekonomi petani di desa umumnya pas-pasan. Banyak dari mereka bahkan masuk kategori warga miskin.
”Saya sempat pergi meninggalkan kampung selama 20 tahun. Setelah kembali, saya masih saja menemukan warga yang bekerja hanya sebagai penyadap nira dan pembuat gula merah cetak. Padahal, harga jualnya terlalu murah,” ujar Komarodin yang pernah bertugas di Mabes TNI AD Jakarta (1988-2008) dan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (2008-2013).
Saat masih bertugas di Kabupaten Banjarnegara, Komarodin mulai membangun rumah yang kemudian dihuni istri dan anak-anaknya di Desa Kebonrejo, Kabupaten Magelang. Setiap empat hari sekali, ia selalu pulang untuk menengok keluarga.
Selama berada di kampung, ia kerap bercakap-cakap dengan para petani, mantri tani, dan pegawai dinas pertanian. Dari obrolan itu, Komarodin mendapat banyak informasi terkait pertanian. Ia pun tersulut untuk mengembangkan perekonomian desa melalui gerakan pertanian.
Pucuk dicinta ulam tiba. Ia ditugaskan sebagai Babinsa di Magelang sehingga bisa dekat dengan kampung halamannya. Hasratnya untuk menggerakkan pertanian di desanya pun bisa lebih mudah dicurahkan.
Di tahap awal, ia membentuk Kelompok Tani Ngudi Rejo, menggantikan kelompok tani sebelumnya yang pasif tanpa kegiatan. Lewat kelompok itu, Komarodin menggerakkan para petani untuk bertani dan beternak.
Tidak hanya bapak-bapak, ia juga berusaha menggerakkan para ibu untuk memproduksi jenis gula yang harganya lebih mahal. Selama ini, para ibu biasa memproduksi gula merah cetak. Komarodin mengarahkan mereka untuk membuat gula semut yang harganya mencapai Rp 10.000 per kilogram. Sayangnya, warga belum terbiasa membuat gula semut.
Pantang menyerah
Komarodin berusaha menggali informasi dari berbagai sumber terkait pembuatan gula semut. Ia bereksperimen bersama istrinya untuk membuat gula semut dari nira. Hasilnya ia jual di ajang pameran. Namun, respons pasar tidak bagus.
”Gula semut sering tidak laku. Pernah dalam satu pameran, kami hanya mampu menjual satu ons gula semut seharga Rp 5.000,” ujarnya.
Komarodin dan istri pantang menyerah. Mereka terus mencoba membuat gula semut dengan kualitas yang bagus. Berhasil membuat produk tersebut, mereka lantas menularkan keterampilannya kepada sejumlah warga. Sayangnya, tidak banyak warga yang tertarik. ”Mereka tidak antusias karena belum jelas gula semut mau dijual ke mana,” kenangnya.
Suatu ketika, Komarodin mendengar ada perwakilan perusahaan eksportir datang ke desa tetangga. Ia bergegas menemui dan mengajaknya berkunjung ke Desa Kebonrejo. Per- wakilan eksportir itu tertarik dengan gula semut buatan Desa Kebonrejo. Namun, sebelum membeli, mereka mensyaratkan gula semut buatan warga mesti bersifat organik dan memenuhi standar Eropa. Untuk itu, proses produksinya harus disertifikasi.
Melihat peluang ekspor gula semut terbuka, Komarodin lebih semangat mengajari warga membuat gula semut. Awalnya, produksi gula semut warga belum memenuhi syarat dan ditolak pembeli. Namun, penolakan itu disimpan rapat-rapat oleh Komarodin dari warga. Ia tidak mau warga kehilangan semangat membuat gula semut. Ia bahkan bersedia membeli gula produksi warga yang kualitasnya kurang bagus dengan uang pribadi.
Agar penolakan tidak terulang, Komarodin menggencarkan pelatihan pembuatan gula semut di kalangan warga. Singkat cerita, kerja keras Komarodin dan warga akhirnya berbuah hasil. Gula semut produksi mereka berhasil memenuhi syarat untuk diekspor ke Eropa.
Keberhasilan ekspor gula semut memotivasi warga untuk mengekspor hasil pertanian lain. Mereka menanam beragam jenis tanaman bernilai ekonomi tinggi di pasar ekspor, seperti vanili, kemukus, lada, dan pisang. Selain itu, mereka mengembangkan peternakan. ”Menurut eksportir, salah satu negara yang sudah berminat mengimpor pisang dari lahan organik (Desa Kebonrejo) adalah Australia,” ujarnya.
Komarodin sampai sekarang terus mengajak warga menambah ilmu. Mereka didorong mengikuti sejumlah pelatihan hingga ke Wonosobo dan Cilacap, Jawa Tengah. Ia juga mengingatkan warga bahwa ilmu pertanian itu mesti dibagikan kepada siapa saja, mulai dari para petani di desa lain hingga generasi muda.
oleh: Regina Rukmorini