Oleh : Brigadir Jenderal TNI Wuryanto, S.Sos., M.Si.
Sebagai Puteri Indonesia 2015, Anindya Kusuma Putri menjadi perhatian dan perbincangan masyarakat. Pada pekan terakhir Februari 2015 ini, beredar foto selfie yang diunggah lewat akun instagramnya. Ia bergaya sambil menggunakan topi caping, kaca mata hitam, kaos berwarna merah berlambang palu arit. Foto itu diambil saat Anindya berkunjung ke Vietnam pada Juni 2014 lalu.
Sontak fotonya itu mendapatkan banjir kritikan dari netizen. Dia dianggap tidak pantas menyandang gelar sebagai putri Indonesia, karena menggunakan gambar palu arit. Gambar itu merupakan simbol komunisme yang begitu sensitif di Indonesia. Setelah mendapatkan protes keras, Anindya pun segera menghapus foto tersebut dari akun instagramnya.
Sebelumnya, film ‘Senyap’ atau ‘Look of Silence’, menjadi salah satu film kontroversial di Tanah Air sejak November 2014 hingga saat ini. Film ini tayang perdana di Indonesia pada 10 November 2014 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Penayangan berlanjut hingga puncaknya pada 10 Desember 2014, atau bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Penayangan itu merupakan bagian dari program ‘Indonesia Menonton Senyap’ hasil kerja sama sejumlah pihak. Setelah itu diputar di sejumlah kampus perguruan tinggi.
Nama sutradaranya jelas, namun ko-sutradaranya disebut anonim asal Indonesia. Sebagian krunya yang berasal dari Indonesia pun tak disebutkan namanya. Pertanyaannya, siapa warga Indonesia yang disebut anonim tersebut? Mengapa menyembunyikan identitasnya? Apakah mereka aktivis komunis? Maka tak ayal, acara nonton bareng film itu di sejumlah kampus, menjadi polemik, antara yang pro dan kontra. Ada yang beralasan untuk pembelajaran atau akademik. Namun ada juga yang mengatakan bahwa film ini bagian dari sosialisasi tersembunyi tentang paham komunis, sehingga harus dilarang. Dilarang, karena melanggar hukum positif Indonesia.
Ideologi terlarang
Bagaimana sebenarnya negara memandang paham komunis? Sesungguhnya, dengan telah ditetapkannya: Ketetapan Majelis Permusyawarahan Rakyat Sementara (Tap MPRS) No. XXV/1966, pada 5 Juli 1966, maka sejak saat itu PKI dinyatakan dibubarkan. Termasuk Marxisme-Leninisme (komunisme internasional/ komintern) sebagai ideologi PKI, dinyatakan sebagai paham terlarang di Indonesia.
Setelah era reformasi, Ketetapan MPRS itu tetap dinyatakan berlaku lewat Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 yang berbunyi: “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan paham atau ajaran Komunis/ Marxisme-Leninisme, dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan, seluruh ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini, ke depan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia”.
Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Tujuan Tap MPR tersebut untuk meninjau materi dan status hukum setiap Tap MPRS dan Tap MPR, menetapkan keberadaan atau eksistensi dari Tap MPRS dan Tap MPR, untuk saat ini dan masa yang akan datang, serta untuk memberi kepastian hukum.
Peristiwa G-30-S/PKI pada tahun 1965, nyata-nyata memakan korban jiwa terbunuhnya enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama TNI Angkatan Darat. Peristiwa ini memicu para jenderal Angkatan Darat mendesak Presiden Soekarno agar memberi wewenang khusus kepada Kepala Staf TNI Angkatan Darat, dahulu disebut Menteri/Panglima TNI Angkatan Darat (Men/Pangad), Mayor Jenderal Soeharto.
Wewenang khusus lewat supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966) kemudian diberikan oleh Presiden Soekarno. Selanjutnya, sebagai pemegang mandat Supersemar, Mayjen Soeharto membubarkan PKI, terhitung pada 12 Maret 1966. Hal ini sebagai konsekuensi dari kewenangan yang diberikan Presiden Soekarno lewat Supersemar.
Dari momentum itu, muncul produk Undang-Undang yang lahir sebagai legitimasi pembubaran PKI dan pelarangan terhadap Marxisme-Leninisme yang diklaim sebagai ideologi dari PKI. Tap MPRS No. XXV Tahun 1966, otomatis menguatkan tindakan hukum bagi pemerintah dalam membubarkan PKI.
Terdapat sejumlah pasal yang menggambarkan kondisi politik pada masa itu, antara lain dalam Pasal 2 Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966). Berikut bunyi dari pasal tersebut: “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengem-bangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut, dilarang.”
Saat memasuki reformasi, upaya menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia, telah dilakukan melalui jalur politik. Caranya dengan berusaha mencabut Tap MPRS No XXV/MPRS/1966, dalam Sidang Umum MPR tahun 2003. Berbagai upaya dilakukan, misalnya melalui jalur hukum, gugatan class action PKI melalui pengadilan negeri Jakarta Pusat pada Agustus 2005.
Juga melalui jalur non yudicial dengan disahkannya UU No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). UU tersebut menjadi pintu masuk PKI untuk dapat eksis. Dampaknya, jalur pendidikan kurikulum sejarah berbasis kompetensi, tidak lagi mencantumkan pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965.
Namun setelah dilakukan peninjauan hukum kembali (judicial review), Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU No 27 tahun 2004 tentang KKR bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu, UU tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Keputusan MK disampaikan dalam sidang pleno yang dipimpin Ketua Majelis, Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH di Jakarta, Kamis (7/12/2006). MK menilai UU tersebut secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Ahli hukum tata negara, Prof Dr Mahfud MD, SH, dalam sejumlah kesempatan juga menjelaskan bahwa ideologi komunis maupun atheis tidak bisa eksis di Indonesia, karena bertentangan dengan konstitusi. Tap MPRS No XXV Tahun 1966 dan UU No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Undang Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.
Dalam UU itu dengan tegas melarangan komunis dan atheis di Indonesia. UU No.27 Tahun 1999, Pasal 107 a: “Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme / Marxisme-Leninisine dalam segala bentuk dan perwujudannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”
Pasal 107 c: “Barang siapa yang melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”
Pasal 107 d: “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Peran Angkatan Darat
Masyarakat yang memahami sejarah kelam tahun 1948 dan 1965, tentu mengetahui, Angkatan Darat memang menjadi ujung tombak dalam penumpasan aksi terhadap Partai Komunis Indonesia. Sehingga, jika terjadi peristiwa yang ‘berbau’ komunis, Angkatan Darat ‘diundang’ untuk kembali turut serta menyelesaikan masalah ini.
Bagi TNI Angkatan Darat, dasar pertimbangan dari Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 sudah cukup jelas. Pertama, paham atau ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme, pada hakekatnya bertentangan dengan Pancasila.
Kedua, orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut paham atau ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme, khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia, telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan kekerasan.
Ketiga, berhubung dengan itu, perlu mengambil tindakan tegas terhadap Partai Komunis Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme / Marxisme-Leninisme”Pada 12 Maret 2015 ini, masyarakat perlu mengingat kembali peringatan 49 tahun dibubarkannya PKI oleh pemerintah RI atas nama bangsa dan negara. Karena itu, kita tetap pada komitmennya, wajib mengamankan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan Tap MPR No. I/MPR/2003, tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Serta UU No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Undang Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.
TNI Angkatan Darat, akan berada di garis depan dalam menjaga kedaulatan negara dari setiap ancaman, termasuk rongrongan ideologi komunis, sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Artikel ini pernah diterbitkan di Harian Pelita tanggal 12 Maret 2015