Pemerintah menjanjikan perubahan total wajah perbatasan. Pos Lintas Batas (PLB) sebagai salah satu gerbang negara yang selama ini dijaga TNI termasuk yang akan dipermak. Jawa Pos berkesempatan menengok pos lokasi yang terisolasi di Malinau, Kaltara, bersama perwakilan Kemendagri dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
Tidak mudah mencapai PLB Long Nawang, Malinau. Minggu, 16 Agustus 2015 itu rombongan harus melintasi jalur provinsi sejauh 32 kilometer (km) dengan mobil four-wheeldrive. Kami harus melalui jalur tanah berbatu. Tidak ada aspal.
Meski belum lama ini dilakukan pengerasan, tidak semua bagian jalur itu rata. Masih banyakyang benar-benar off-road. Ditambah lagi, jalur tersebut melintasi kawasan perbukitan Kalimantan Utara (Kaltara) yang cukup terjal. Tak pelak, rombongan yang duduk di bak belakang mobil terbanting-banting.
Di belantara rimba Kaltara, beberapa kali rombongan melewati area yang pepohonannya habis dibakar. Itu menandakan warga yang hendak membuka ladang baru. Kicau burung dan langit yang bersih tanpa awan turut menemani perjalanan.
Untuk masuk ke Desa Long Nawang, Jawa Pos bersama rombongan harus menggunakan pesawat turbo propeller yang berkapasitas 12 penumpang.
Kami terbang selama satu jam dari Bandara Juwata, Tarakan, menuju Bandara Long Ampung di Desa Long Ampung, Malinau, dengan panjang landasan 400 meter. Dari Long Ampung, kami masih harus berkendara sekitar setengah jam untuk menuju Desa Long Nawang.
Meskipun masih menjadi bagian dari Kabupaten Malinau, nyaris tidak ada akses dari dan menuju Long Nawang selain jalur udara. Tiga tahun terakhir ada akses darat, tapi harus memutar lewat Mahakam Ulu dan Samarinda, terang Kepala Adat Besar Apau Kayan Ibau Ala yang menerima Jawa Pos di kediamannya.
Artinya, pengendara harus menempuh jarak lebih dari 1.000 km dari Long Nawang untuk sampai ke ibu kota Kabupaten Malinau. Jarak tersebut ditempuh dalam waktu tiga hingga empat hari perjalanan. Jangan bayangkah jalanan mulus beraspal. Sebab, sebagian aksesnya masih berupa jalan tanah yang diratakan oleh buldoser.
Waktu tempuh bisa bertambah lama apabila musim hujan. Sebab, rute tersebut harus melintasi sungai yang debit airnya bisa naik saat hujan. Kalau sudah begitu, kami harus menunggu sampai air surut, baru melanjutkan perjalanan, lanjutnya. Karena jalur itu baru dibuka, belum ada jembatan yang dibangun.
Untuk aktivitas sehari-hari, masyarakat menggunakan mobil jenis four wheel drive. Mayoritas Toyota Hilux atau Mitsubishi Strada. Beberapa motor juga diparkir dirumah-rumah penduduk.
Ayah empat putri dan satu putra itu menuturkan, mayoritas warga Long Nawang hidup dari hasil pertanian. Sebagian besar masih menggunakan cara tradisional, yakni ladang berpindah.
Selama perjalanan menuju Long Nawang, beberapa kali Jawa Pos mendapati bekas area hutan yang dibakar. Area tersebut sengaja dibakar untuk mempersiapkan lahan baru. Hasil pertanian di sini bagus-bagus, lanjut dia.
Satu jam naik turun bukit, akhirnya rombongan sampai ke PLB Long Nawang. Di bagian depan bangunan PLB, terdapat plang dengan lambang Kodam V/Brawijaya. Artinya, yang mendapat giliran berjaga adalah pasukan dari Kodam V/Brawijaya. Tepatnya Batalyon Infanteri 527/Baladibya Yudha yang bermarkas di Lumajang, Jawa Timur. PLB Long Nawang dihuni 15 prajurit
Bangunan pos tersebut baru beberapa tahun belakangan diperluas. Tetap konsisten berbahan kayu, bahan tunggal bangunan yang paling mudah didapat di belantara Kalimantan. Satu-satunya bangunan beton di pos tersebut adalah bak penampung air hujan. Kami mengandalkan air hujan untukkeperluan minum dan memasak, tutur Wakil Komandan TLB Long Nawang Sertu Nuryanto.
Karena itu, dua bak beton bemkuran besar dibangun di halaman belakang. Bak tersebut masih ditambah dengan tiga tandon yang berkapasitas 1.000 liter. Talang airyang tampak mulai berkarat diset untuk mengalirkan air hujan yang jatuh di genting agar masuk ke bak penampungan.
Karena sangat bergantung pada air hujan, persediaan air digunakan sehemat-hematnya. Pernah selama beberapa pekan tidak hujan, lalu airnya tinggal segini, ujarnya sembari menunjuk ketinggian bak tidak lebih dari 50 sentimeter (cm).
Ketika ditanya soal persediaan air untuk man di, Nuryanto mengajak rombongan menyeberang jalan di depan pos. Di situ kami baru tahu, sejak beberapa kilorAeter menjelang PLB, kami sudah melintasi jalan di wilayah Malaysia Batas wilayah Indonesia hanya sampai pagar PLB.
Jalan itu dibangun secara bergotong royong oleh warga Long Nawang. Informasi yang diperoleh Jawa Pos, negara tetap membiayai pengerasan jalan, tapi yang melaksanakannya adalah masyarakat adat Sebab, pemerintah Indonesia tidak bisa membangun infrastruktur di wilayah Malaysia. Lagi pula, sehari-hari yang menggunakan jalan tersebut adalah masyarakat adat. Meski berbeda kewarganegaraan kebanyakan di antara mereka masih punya hubungan saudara.
Di seberang jalan, rombongan masuk sekitar 10 meter dan mendapati kubangan yang bergaris tengah sekitar 3 meter dengan kedalaman 1,5 meter Sepertiga kubangan itu berisi air yang cukup jernih. Lagi-lagi, air tersebut merupakan berkah dari langit yang ditampung. Di sebelahnya, terdapat tempat untuk mandi yang beralas kayu dan ditutup terpal setinggi pinggang.
Untuk mandi, para prajurit harus menimba dulu di kubangan dan menampung airnya di ember. Sebagaimana air untuk memasak, air mandi juga harus dihemat karena sangat bergantung curah hujan. Kalau habis, sebenarnya tidak masalah. Kami tinggal turun beberapa kilometer, ada sungai di situ, lanjut prajurit dari Lamongan itu.
Untuk kebutuhan listrik, sebagaimana PLB disejumlah tempat, PLB Long Nawang mengandalkan panel surya. Jika cuaca siang sedang terik, listrik bisa mengalir sejak matahari terbenam hingga terbit lagi esoknya. Tapi, bila mendung, paling listrik bisa menyala enam sampai tujuh jam saja kala malam.
Di dalam bangunan pos, terdapat bilik-bilik kamar yang digunakan oleh prajurit untuk tidur Tempat tidur mereka berupa boks berpintu dengan panjangi meter dan lebar 1 meter. Model tempat tidur itu melindungi para prajurit dari hawa dingin yang menusuk. Maklum, PLB Long Nawang tidak hanya berada di tengah hutan, tapi juga di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Nuryanto menuturkan, mereka baru dua bulan bertugas di PLB Long Nawang dan masih akan bertugas selama tujuh bulan ke depan. PLB Long Nawang berbatasan langsung dengan kawasan milik kamp TapakMega, perusahaan pengolahan hasil hutan milik pemerintah Malaysia. Lokasi penebangan hutan tidak jauh dari PLB, sekitar 1 km. Karena itu, hampir setiap hari suara alat-alat berat milik perusahaan tersebut terdengar jelas dari PLB.
Selama ini, perusahaan itu menjadi salah satu tumpuan warga Long Nawang untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok. Mereka kerap berbelanja di toko milik perusahaan dan membawanya kembali ke desa. Karena itu, setiap hari selalu ada warga yang melintasi perbatasan. Mereka tidak menggunakan kartu pelintas batas karena otoritas Malaysia tidak mempermasalahkannya.
Nuryanto memastikan bahwa pihaknya selalu mencatat siapa saja warga yang menyeberangi perbatasan. Baik WNI maupun warga Malaysia. Untuk WNI, selain berbelanja, tujuan utama menyeberangi perbatasan adalah bekerja. Kebanyakan bekerja sebagai buruh kasar di Tapak Mega. Sedangkan warga Malaysia biasanya menyeberangi perbatasan untuk mengunjungi keluarga mereka di Long Nawang dan sekitarnya, tidak pergi lebih jauh.
Para prajurit tidak memberlakukan pengetatan bagi masyarakat adat dalam melintasi perbatasan. Yangpenting, identitas, keperluan, dan berapa lama mereka keluar negeri selalu dicatat. Setiap kendaraan dan barang bawaan yang melintas juga kami periksa mendetail, timpal Prajurit Kepala Susanto yang mendampingi Nuryanto.
Nuryanto menambahkan, timnya punya program patroli perbatasan minimal setiap dua pekan. Selain mengecek patok-patok perbatasan, para prajuritmemantau aktivitas kamp Tapak Mega. Jangan sampai sejengkal pun alat berat mereka masuk, apalagi menyentuh pohon di wilayah Indonesia. Kami dapat informasi, persediaan pohon besar mereka mulai menipis.
Dulu, alat berat kamp Tapak Mega pernah masuk dan menebang pohon di wilayah Indonesia. Alhasil, alat berat itu disita oleh pemerintah Indonesia. Karena itu, pemantauan terhadap aktivitas kamp Tapak Mega diperketat. Meskipun pemantauan tetap dilakukan dari wilayah Indonesia karena menghormati kedaulatan Malaysia.
Selama ini, hubungan tentara perbatasan di kedua negara sangat baik. Mereka saling mengunjungi pos perbatasan masing-masing. Demi menghormati kedaulatan masing-masing kunjungan hanya dilakukan sampai pos perbatasan. Tidak lebih.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia, menjaga perbatasan bisa jadi pekeijaan yang menjemukan. Tapi, para prajurit mendapatkan keasyikan tersendiri dalam menjaga perbatasan. Untuk menghibur diri, mereka bisa juga mengunjungi Pondok Oma demi mendapatkan kasih sayang.
Jangan buru-buruberpikir terlalu jauh Pondok Cinta yang dimaksud adalah dua menara kayu setinggi 10 meter dan 15 meter di dekat PLB. Para prajurit biasa datang ke Pondok Cinta untuk satu tujuan. Menelepon keluarga. Sebab, hanya di dua lokasi itulah mereka bisa mendapatkan sinyal telepon sehingga bisa menghubungi keluarga tercinta di rumah.
Karena itu, para prajurit menamakan menara tersebut Pondok Cinta. Biasanya, mereka menghubungi keluarga secara bergantian karena keterbatasan sinyal. Apabila sinyal digunakan berbarengan, bisa-bisa mereka gagal tersambung dengan keluarga. Teleponnya juga khusus, yang jadul. Android dan Apple tidak berguna di sini, tutur Nuryanto seraya tertawa. Benar saja. Seluruh ponsel rombongan dari Jakarta tidak bisa digunakan di area itu.
Untuk mendapatkan sinyal, ponsel harus dibebat dengan tali, kemudian digantungkan setinggi mungkin di Pondok Cinta. Setiap prajurit menggunakan earphone agar tidak perlu memegang ponsel Dengan cara tersebut, ponsel tidak akan bergerak dan sinyal bisa stabil.
Satu hal yang diharapkan para prajurit di perbatasan adalah kendaraan operasional. Apabila ada kendaraan, mereka bisa lebih mudah mengakses Long Nawang untuk membeli kebutuhan logistik. Selama ini, mereka menumpang mobil warga apabila hendak pergi ke LongNawang. Pernah kami dari Long Nawang karena tidak ada kendaraan, akhirnya jalan kaki ke sini. Berangkat pagi, sampai sini lewat tengah hari,” tambahnya. (Sumber: JawaPos)