Skip to main content
Artikel

Menghadapi Ancaman Non Militer Terhadap Pertahanan dan Ketahanan Nasional

Dibaca: 5169 Oleh 05 Feb 2018Tidak ada komentar
#TNIAD #TNIADMengabdiDanMembangunBersamaRakyat

TNI AD – Jakarta. Apabila kita bicara mengenai soal pertahanan non militer maka sebenarnya kita sedang bicara mengenai aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya serta sejarah sebuah bangsa. Senjata yang canggih dan mutakhir adalah komoditi yang tersedia di pasar senjata dunia.

Tapi efektifitas senjata hampir seluruhnya tergantung pada manusia yang mempergunakan alat perang tersebut. Dalam rangka inilah orang biasanya bicara mengenai peran manusia yang memanfaatkan senjata tersebut, the men behind the gun.

Ketika menjelaskan daya tahan TNI dalam perang gerilya melawan tentara kolonial Belanda pada perang Kemerdekaan di masa revolusi fisik, Jenderal T.B. Simatupang menyebutkan peranan amat menentukan keteguhan hati para prajurit yang berperang dengan senjata apa adanya melawan serangan tentara Belanda yang dilengkapi dengan peralatan modern. Kita memang tidak memenangkan perang, tapi Belanda juga tidak berhasil menghancurkan pertahanan pasukan TNI. Keteguhan hati, patriotisme dan semangat tinggi barangkali juga bisa menjadi penjelasan gagalnya tentara Amerika Serikat meski bertempur dengan persenjataan serba canggih dan dengan dukungan biaya besar melumpuhkan tentara Vietnam dalam perang yang menelan banyak korban itu.

gambar1

Dari mana dan apa sumber keteguhan hati, patriotisme dan semangat tinggi membela negara serta mengawal pertahanan dan ketahanan nasional? Jawaban singkat terhadap pertanyaan ini hanya satu. Cinta tanah air. Pertanyaan selanjutnya, apa akar cinta tanah air? Jawabnya tidak sulit, rasa memiliki. Sulit membayangkan seseorang mencintai sesuatu yang tidak dimilikinya.

Contoh menarik mengenai hubungan antara cinta dan kesediaan berkorban itu dialami bangsa indonesia di sekitar masa Perang Dunia II. Menjelang datangnya bala tentara Jepang ke Hindia Belanda, pemerintah kolonial Belanda merencanakan suatu mobilisasi umum mempersiapkan penduduk mendukung Belanda menghadapi serbuan Jepang. Para elit politik Indonesia masa itu (terutama mereka yang duduk di Volksraad) hanya bersedia mendukung gagasan Belanda dengan kompensasi Indonesia berparlemen. Pemerintahan kolonial yang sangat reaksioner menolak kompromi. Akibatnya, tentara Jepang masuk ke Indonesia dengan sambutan antusias penduduk Indonesia.

Baca juga:  Musnahkan Virus Covid-19, Ini Cara Sederhana Membuat Disinfektan

Jepang lebih flexibel, tentara dari Utara itu dengan perhitungannya sendiri mengakomodir sebagian terpenting aspirasi rakyat Indonesia. Jepang memobilisasi rakyat yang sekian lama dibiarkan tidur oleh kekuasaan kolonial Belanda. Dengan menggunakan propaganda yang canggih dan intensif, rakyat Indonesia dilibatkan dalam kegiatan mempertahankan air mereka terhadap rencana serangan Sekutu. Dalam rangka inilah kita harus membaca terbentuknya Peta, Fujinkai, Kiyobodan, Barisan Pelopor, Hisbullah, Seinendan, Tunarigumi dan berbagai organisasi lainnya.

gambar2

Melalui mobilisasi massal tersebut, Jepang berusaha melibatkan penduduk Indonesia untuk bersama tentara pendudukan Dai Nippon mempertahankan Indonesia dari ancaman kolonialisme kulit putih. Tokoh politik yang cepat menangkap dan memanfaatkan kebijakan Jepang ini adalah Sukarno. Dalam rangka inilah kita harus mengerti kampanye calon Presiden pertama Indonesia itu ketika beliau dengan berapi-api berpidato mengenai “Inggris yang harus dilinggis dan Amerika yang akan diseterika.”

Bahwa para pemuda Indonesia yang berhasil dimobilisasikan Jepang itu mencintai Indonsia dan bukan Jepang, terbukti setelah proklamasi para pemuda (mantan Peta, mantan Heiho dan mantan organisasi buatan Jepang lainnya) melucuti Jepang, bahkan di beberapa tempat (Semarang dan Kota Baru Yogjakarta) para pemuda bertempur melawan tentara Jepang yang bertekad menjaga status quo sebagai yang diperintahkan Sekutu. Kalau di masa pendudukan para pemuda dikesankan sebagai bersedia mati mempertahankan Jepang, setelah proklamasi kemerdekaan motif mereka yang sebenarnya baru terungkap. Mereka bukan mencintai Jepang.

Baca juga:  Perlunya Paradigma Baru Dalam Menanggulangi Perkembangan Ancaman Terhadap Keselamatan dan Kelangsungan Hidup Bangsa dan Negara

Mereka mencintai Indonesia, suatu negara yang mereka bangun bersama di atas reruntuhan kekalahan Jepang kepada Sekutu. Merasa memiliki suatu tanah air itulah penjelasan mengapa mereka siap mati mempertahanakan kemerdekaan bangsa yang baru merdeka itu. Ini latar belakang pertempuran seru di Surabaya (10 November), Semarang, Bandung (Bandung Lautan Api) serta sejumlah pertempuran di banyak daerah lainnya.

gambar5

Apakah cukup alasan bagi mayoritas bangsa ini untuk terus mencintai tanah air mereka?

KINI, KETIKA KITA SIBUK BICARA TENTANG BELA NEGARA, TENTANG KETAHANAN DAN PERTAHANAN NASIONAL NON MILITER, pertanyaan yang kita hadapi, apakah cukup alasan bagi mayoritas bangsa ini untuk terus mencintai tanah air mereka? Ketika pembangunan fisik merebak di negeri ini, apakah cukup banyak warga merasa kemajuan yang mereka saksikan adalah sesuatu yang mereka merasa ikut memiliki? Apakah mereka bangga melihat kemajuan fisik yang melanda Indonesia sekarang?

Apa yang mereka dapat dari kebanggaan tersebut? Setelah 70 tahun merdeka, apakah kebanyakan rakyat sudah melihat dan merasa janji-janji Indonesia merdeka yang dulu di dengung-dengungkan sudah menampakkan hasil yang ikut mereka nikmati? Ketika orang sibuk bicara Pancasila, apakah sila-sila yang berhubungan langsung dengan kepentingan orang banyak (keadilan sosial) telah dilaksanakan?

Baca juga:  Diana Da Costa Gadis Cantik Asli Timor Leste yang Ikhlas Mengabdi di Pedalaman Papua

Kalau jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini masih mendapat jawaban negatif, maka pasti masih akan sulit bagi kita bicara mengenai pertahanan dan ketahanan nasional non militer.

 

Biodata Penulis

gambar4

Prof. DR. Salim Haji Said, MA, MAIA

Lahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan tahun 1943), adalah seorang penulis Indonesia. Salim Said mengikuti pendidikan di Akademi Teater Nasional Indonesia tahun 1964-1965, Fakultas Psikologi UI tahun 1966-1967, Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 1977, dan meraih Ph.D. dari Ohio State University, Columbus,  Amerika Serikat tahun 1985. Ia pernah menjadi redaktur Pelopor Baru, Angkatan Bersenjata, dan redaktur majalah Tempo pada tahun 1971-1987.

Salim kini mengajar di Sekolah Ilmu Sosial dan menjadi anggota Dewan Film Nasional. Hasil karya buku yang ia tulis ialah Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak, Profil  Dunia Film Indonesia dan masih banyak lagi. Tulisan-tulisannya mengenai sastra dimuat dalam Mimbar Indonesia, Bahasa dan Budaya, Horison, Budaya Jaya, dan lain-lain.

Kemudian pada tahun 2007 Prof DR. Salim Said ditunjuk menjadi Duta Besar  Republik Indonesia di Praha, Republik Ceko, Maka sejak saat itulah namanya semakin dikenal terutama sebagai pengamat militer hingga saat ini, Ia juga mengajar di berbagai perguruan tinggi termasuk di Universitas Pertahanan Indonesia (UNHAN) dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Republik Indonesia hingga saat ini.

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel