Skip to main content
Berita Satuan

Paradoks Pada Industri Pertahanan

Dibaca: 43 Oleh 18 Feb 2016Maret 8th, 2016Tidak ada komentar
TNI Angkatan Darat
#TNIAD #TNIADMengabdiDanMembangunBersamaRakyat

Pada Januari 2016 industri pertahanan nasional seperti mendapat angin segar. Dalam kunjungan ke PT Pindad, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan kembali komitmen politik pemerintah memper­kuat dan mendukung pembelian produk indus­tri dalam negeri.

Berikutnya, Markas Besar TNI menandatangani 389 kontrak pengadaan barang dan jasa mi­liter (meliputi tiga angkatan) se­rentak senilai Rp 5,9 triliun. Ma­sih Hi bulan sama, Kementerian BUMN mengumumkan target konsolidasi beberapa BUMN per­tahanan, antara lain PT LEN, PT DI, dan PT Pindad ke dalam satu perseroan induk yang diharap berdiri akhir tahun ini.

Berbagai perkembangan ini patut dihargai sebagai upaya pe­merintah menjalankan mandat UU Nomor 16 Tahun 2002 ten­tang Industri Pertahanan dan doktrin Nawacita. Namun, untuk menjaga kesehatan jangka pan­jang industri pertahanan, peme­rintah perlu mengkaji setidaknya  tiga  paradoks kebijakan yang ma­sih ujung pangkal berbagai ma­salah.

Pertama, paradoks antara ke­butuhan konsumen utama pro­duk industri pertahanan (dalam hal ini TNI) dengan sasaran atau harapan BUMN pertahanan. Di satu sisi, terlepas dari komitmen institusional TNI turut memper­kuat industri pertahanan, sejarah tuntutan operasi dan kegiatan keseharian militer sejak kemer­dekaan lebih condong ke arah keamanan dalam negeri. Data berbagai publikasi Pusat Sejarah TNI mencatat bahwa dari 249 operasi ABRI/TNI (1945-2004), sekitar 67 persen dilaksanakan menghadapi musuh atau tan­tangan dalam negeri.

Baca juga:  Narkoba Merusak Citra TNI

Masalahnya, operasi militer dalam negeri, seperti kontrain surgensi atau pembinaan kewi­layahan, lebih banyak menggu­nakan alat peralatan pertahanan dan keamanan (APPK) bertek­nologi sederhana atau menengah, seperti panser atau senjata ring­an. Alat utama sistem persen­jataan (AUSP) udara dan laut lebih banyak digunakan sebagai pendukung bukan ujung tom­bak berbagai operasi darat.

Di sisi lain industri pertahan­an kita cenderung butuh permin­taan produksi APPK bertekno­logi tinggi untuk meningkatkan kualitas sumber daya dan kapa­bilitas riset, menaikkan kapasitas produksi,  dan mempertahankan daya saing di pasar regional dan global. Selain itu, sebagaimana diharap Presiden BJ Habibie du­lu, produk berteknologi tinggi ha­sil industri strategis nasional ber­potensi menjadi’ gerbong pe­ngembangan teknologi nasional.

Tuntutan serius

Pengalaman Taiwan, Tiong­kok, dan Jepang, seperti dibahas dalam TTie Information Revolu-tion in Military Affairs in Asia (2004), menunjukkan bahwa ke­bangkitan industri strategis me­ngembangkan dan menguasai sistem APPK berteknologi tinggi (sekarang dikenal sebagai revo­lusi krida yudha) berangkat dari arahan dan tuntutan militer yang serius ingin menghadapi tan­tangan luar negeri.

Kedua, paradoks antara strate­gi penguatan BUMN pertahanan yang cenderung mengendarai gelombang teknonasionalisme (di­sokong penuh dan dimotori aktor negara) dan menguatnya gelom­bang teknoglobalisme kawasan (bergesernya pasar APPK global ke Indo Pasifik dan dimotori ak­tor nirnegara, seperti Lockheed Martin).

Di satu sisi, teknonasionalisme ingin mencapai kemandirian tek­nologi militer penuh demi ke­mandirian strategis negara, kea­manan nasional, dan peningkat­an status global, seperti digam­barkan Richard Samuels dalam Rich Nation, Strong Army (1994) untuk kasus industri pertahanan Jepang.

Baca juga:  Ratusan Senjata Panah Diamankan Satgas TNI Konga Monusco Dari Suku Twa dan Suku Buntu

Masalahnya, menurut Richard Bitzinger dalam Defense Indus­tries in Asia and the Technon-ationalist  Impulse  (2015),  proses  ‘meminjam’  teknologi  asing  yang  jadi  titik  tolak   model tekno­nasionalisme dapat kebablasan jika tak ada strategi dan konsis­tensi komitmen melampaui ta­hapan mempelajari dan meniru dan beralih ke tahapan inovasi mandiri lokal berdasar kepemi­likan penuh dan pengembangan berkelanjutan.

Di sisi lain, strategi mencapai inovasi mandiri lokal cenderung bergantung kepada kemampuan pemerintah memetik keuntung­an teknoglobalisme dengan memperkuat daya saing produk dan meningkatkan berbagai kerja sama dengan perusahaan militer regional dan global. Langkah ini penting mengingat status Indo­nesia sebagai negara produsen pertahanan tingkat dua berada di antara negara papan atas yang berbasis inovasi teknologi dan kapasitas produksi ekspor tinggi dengan negara papan bawah yang hanya mengandalkan impor.

Sayangnya, UU 16/2012 dapat disalahartikan sebagai insentif struktural mempertahankan ke­tertutupan pengelolaan manaje­men dan keuangan BUMN seba­gai aset strategis negara dan me­ningkatkan subsidi dan jamin­an pemerintah terkait pengada­an APPK. Padahal, sejauh mana kita dapat  mengeksploitasi tek­noglobalisme melalui dua lang­kah di atas tergantung pada ting­kat transparansi, kepemilikan sa­ham publik, dan profesionalisme manajemen BUMN.

Terakhir, paradoks antara pe­ningkatan anggaran pertahanan berlipat ganda pasca Orde Baru dan menurunnya performa ber­bagai BUMN pertahanan, terma­suk pailitnya PT DI tahun 2007. Meski banyak kalangan menya­lahkan politik anggaran perta­hanan yang selalu berkisar ku­rang 1 persen dari PDB, soal justru terletak pada strategi pengalokasian anggaran itu. Le­bih dari satu dekade terakhir mayoritas    pembelanjaan  (60-70 persen)     cenderung    berada  di sek­tor  personel  dengan  sisanya   di­alokasikan kepada belanja AUSP.

Baca juga:  Presiden Minta TNI-Polri Kurangi Gesekan

Namun, dalam konteks kesi­nambungan industri pertahanan menuju tahap inovasi lokal man­diri, alokasi anggaran penelitian, pengembangan, pelatihan, dan evaluasi (RDT & E) lebih penting daripada sekadar pembelian AUSP; apalagi jika sebagian besar adalah kontrak dengan industri luar negeri. Sayangnya, menurut data IHSJane’s, dari 2012 hingga 2019, anggaran RDT & E militer Indonesia diperkirakan berkisar 1,4-2,3 persen dari total anggaran pertahanan (atau 1,7-8,9 persen dari anggaran pembelian AUSP). Seberapa besar porsi anggaran ini yang langsung mendukung pe­ngembangan produk BUMN per­tahanan masih pertanyaan.

Ketiga paradoks ini sejarah operasi militer, teknonasionalisme, dan anggaran inovasi menunjukkan pentingnya visi strategis yang mengintegrasikan sistem ekonomi dan riset pertahanan dengan sistem ekonomi dan riset nasional (sipil dan komersial). Dalam hal ini, pemerintah perlu memperkuat wewenang politik Komite Kebijakan Industri Pertahanan merumuskan strategi jangka panjang penguatan industri pertahanan nasional.  (Sumber: HU Kompas)

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel