Tak lama lagi markas besarbagi ratusan ribu prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Cilangkap, Jakarta Timur akan berganti pemimpinnya dari Jenderal TNI Moeldoko ke Jenderal TNI Gatot Nurmantyo karena Moeldoko akan memasuki masa pensiunnya pada awal bulan Agustus 2015.
Walaupun pergantian panglima TNI tidak seheboh “pertengkaran” di partai-partai politik, tetap saja pemilihan panglima TNI oleh Presiden Joko Widodo selaku Panglima Tertinggi TNI tetap saja mendapat perhatian besar. “Harapan saya, mudah-mudahan DPR secepatnya memberikan persetujuannya,” Kata Kepala Negara baru-baru ini.
Surat Presiden tentang pencalonan Gatot ke DPR sudah dikirimkan pada Selasa (9/6) Karena Moeldoko berasal dari TNI Angkatan Darat, maka bayangan banyak orang termasuk para prajurit” maka kini tiba saatnya jabatan panglima TNI menjadi “giliran” jajaran TNI Angkatan Udara atau TNI Angkatan Laut karena berpedoman pada prinsip “bergiliran” dan bukannya “bergantian”.
Namun dengan sejumlah pertimbangan, maka tetap saja Presiden Joko Widodo mencalonkan jenderal TNI Angkatan Darat untuk menjadi panglima TNI. Dan bisa diperkirakan Presiden tidak akan bakal menjelaskan secara terbuka kenapa mencalonkan Jenderal Gatot dari AD yang kini merupakan Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Moeldoko akan pensiun pada awal Agustus sehingga berarti pejabat baru harus sudah dilantik sebelum pejabat lama pensiun. Sementara itu, karena calon pemimpin TNI yang baru itu harus mengikuti uji kelayakan dan kepatutan yang istilah kerennya adalah “fit and proper test” oleh DPR sedangkan para wakil raky at itu lagi-lagi akan segera menikmati masa “liburnya” atau reses maka tentu diharapkan ujian di Senayan itu sudah bisa dilaksanakan bulan Juni itu.
Tentu Presiden punya alasan mendasar kenapa jenderal TNI dari AD yang memimpinlagi Markas Besar TNI. Secara m udah, bisa dipahami AD memiliki jajaran dari pusat hingga daerah terpencil, yang kondisi ini tidak ada pada kedua angkatan lainnya. Di tingkat desa, AD memiliki bintara pembina desa atau babinsa, yang kemudian di atasnya adalah komando rayon militer atau koramil yang berada di tingkat kecamatan. Karena di Tanah Air terdapat sekitar 70.000 desa maka bisa dibayangkan ada berapa puluh ribu babinsa dan juga koramil.
Kemudian di atas danramil terdapat komando distrik militer atau kodim yang berada di setiap kota dan kabupaten. Di atasnya lagi ada komando resor militer atau korem yang berada di beberapa kota atau kabupaten misalnya Korem 61 Suryakencana Kodam III Siliwangi yang membawahi prajurit di tiga kota yakni Bogor, Cianjur serta Sukabumi.
Sementara itu, di atas korem, terdapat komando daerah militer atau kodam yang berada di satu provinsi atau dua bingga tiga provinsi. Yang paling tinggi jajaran TNI AD di tingkat pusat yakni Markas Besar TNI Angkatan Darat.
Sementara itu sebagai perbandingan, untuk AL maka satuan terbawahnya adalah pangkalan AL atau lanal, komando utarria Angkatan Laut atau lantamal dan di atasnya lagi terdapat Komando Armada Barat dan Timur hingga akhirnya Markas Besar TNT AL.
Karena AD pada dasarnya lebih banyak memiliki jajaran di daerah-walaupun sebagian besar wilayah , Indonesia adalah laut- maka prajurit. AD lebih banyak jika dibandingkan depgan kedua matra lainnya. Dengan demikian para prajurit AD sehari-harinya sudah lebih terbiasa bergaul dengan rakyat di tataran terbawah dibandingkan dengan saudara-saudara mereka yang berdinas di AL ataupun AU.
Tawuran
Baru-baru ini untuk kesekian kalinya- terjadi perkelahian antarprajurit yakni antara prajurit Grup II Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD yang bermarkas di Solo dengan prajurit TNI AU yang lokasi kejadian atau tempat kejadian perkaranya atau (TKP) adalah di sebuah kafe. Padahal kafe adalah tempat “haram” bagi semua prajurit dari angkatan yang mana pun juga. Akibatnya, ada prajurit Angkatan Udara yang tewas.
Karena itu, tidak heran jika Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto berujar “Sosok Pak Gatot Nurmantyo diharapkan bisa memenuhi harapan masyarakat dan bisa berkoordinasi dengan semua angkatan”. Yang diharapkan Setya Novanto tentu adalah adanya koordinasi yang baik sehingga tidak terjadi lagi -tawuran antarprajurit.
Sementara itu, seorang anggota DPR Tubagus Hasanuddin yang merupakan mayor jenderal purnawirawan berkata jika mengacu pada prinsip bergiliran maka tiba saatnya bagi prajurit dari TNI AU untuk menjadi panglima TNI.
“Tentu saja pilihan Presiden mengandung risiko politik,” kata Tubagus Hasanuddin yang pernah menjadi ajudan saat Profesor Bacha-ruddin Jusuf Habibie menjadi wakil presiden dan presiden dan kemudian menjadi sekretaris militer kepresidenan pada era presiden Megawati Soekarnoputri seperti dikutip Antara.
Bahkan beberapa tahun lalu, sebuah batalyon TNI-AD sampai harus dibubarkan gara-gara ratusan personel di Sumatera Utara itu menyerang dan menghancurkan kantor polisi.
Kasus lainnya adalah ketika pengadilan militer menghukum sejumlah prajurit Kopassus yang menyerang Lembaga Pemasyarakatan di Cebongan, Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga mengakibatkan kematian narapidana.
Kasus kekerasan itu sampai sekarang masih saja tetap terjadi dan kemungkinan besar bakal tetap terjadi pada masa mendatang karena sebagian besar prajurit TNI masih sangat muda sehingga mengakibatkan mudah terjadinya tawuran antarprajurit.
Masyarakat sampai sekarang praktis tidak pernah mendapat penjelasandariPanglima TNI yang mana pun juga tentang langkah strategis untuk mengatasi perseteruan antarprajurit itu.
Karena itu, Jenderal Gatot Nurmantyo jika nanti telah menjadi panglima TNI harus mau menjelaskan pokok-pokok pikirannya tentang pembinaan mental dan disiplin prajurit. Kenapa itu harus dilakukan? Rakyat pasti ingin melihat semua prajurit dan tidak lagi berkelahi misalnya hanya gara-gara berebut cewek atau karena berebut menguasai pengamanan kafe atau panti pijat dan juga bar.
Sebagai perbandingan misalnya adakah para prajurit dari angkatan yang mana pun juga “mau berebut” pengamanan mesjid, musholla/ gereja ataupun vihara? Walaupun ini seperti masalah yang sepele atau sederhana, Jenderal Gatot Nurmantyo harus siap menjelaskan pokok-pokok pikirannya tentang pembinaan mental ratusan ribu prajuritnya.
Pengalamannya sebagai panglima Komando Cadangan Strategis TNI AD atau Kostrad, komandan Korem 061 Surya kencana di Bogor„guberaur Akademi Militer, kepala staf Divisi 2 Kostrad serta berbagai jabatan lainnya menunjukkan bahwa Gatot Nurmantyo sudah terbiasa bergaul dan berkomunikasi dengan prajurit-prajurit terbawah seperti tamtama dan bintara yang banyak di antaranya merupakan orang-orang muda yang “berdarah panas”.
Masyarakat pun tahu bahwa tugas panglima TNI begitu menumpuk mulai dari mengatur kekuatan minimal esensial TNI, pembelian senjata dari peralatan militer, bagaimana mengatur promosi prajurit hingga bagaimana mengatur hubungan militer dengan partai politik dan tokoh partai politik hingga posisi TNI menghadapi pemilu, karena sekalipun TNI bersikap netral dalam pesta demokrasi itu, ternyata tidak mudah menangani atau mengaturnya.
Kepada Gatot Nurmantyo yang lahir di Tegal, Jawa Tengah pada 13 Maret 1960 itu, masyarakat patut berharap banyak dan selayaknya harapan rakyat itu tidak disia-siakansedikitpun. (Sumber: Pelita)