Medan pegunungan berhutan lebat menyulitkan tim gabungan Kepolisian-TNI menangkap Santoso. Operasi pengejaran diperpanjang.
Sebanyak 2.200 personel gabungan Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia disebar di kawasan Gunung Biru, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, sepanjang pekan lalu. Berlabel Operasi Tinombala, mereka menyisir wilayah pegunungan seluas 2.400 hektare yang membentang dari kawasan Napu di Kabupaten Poso hingga Sausu di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Tujuannya menangkap Santoso, buron kelas wahid Indonesia.
Untuk mempersempit pergerakan Santoso, tim Operasi Tinombala membagi empat daerah pengejaran, yakni wilayah Kabupaten Parigi Moutong, Poso Pesisir Utara, Poso Pesisir Selatan, dan wilayah Napu. Ada sekitar 500 personel di tiap daerah. Kepala Operasi Tinombala Komisaris Besar Leo Bona Lubis mengatakan strategi itu berhasil membuat Santoso dan kelompoknya angkat kaki dari basis kekuasaan mereka di Gunung Biru menuju wilayah Lembah Napu, Kabupaten Poso. Mereka sudah bergeser dari wilayahnya, ujar Wakil Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah itu, Selasa pekan lalu.
Santoso kian terpojok lantaran satu per satu anggotanya ditangkap tim operasi. Tercatat satu orang berinisial JY yang diduga anggotanya ditangkap saat operasi perburuan berlangsung. Tim pemburu juga menembak mati lima orang lain dalam kontak senjata di Uwe Pokaihaa, Desa Torire, Kecamatan Lore Piore, Kabupaten Poso, Ahad tiga pekan lalu.
Juru bicara Operasi Tinombala, Ajun Komisaris Besar Hari Suprapto, mengatakan D alias T, salah seorang yang ditembak mati, adalah ahli peta kelompok Santoso. Dari tangannya, tim operasi menemukan 25 peta koordinat wilayah Gunung Biru. Selain itu, dari enam orang yang diduga anggota kelompok Santoso, tim operasi menyita dua senjata jenis pistol dan revolver, empat senjata rakitan laras panjang, serta puluhan bom rakitan. Menurut Hari, langkah tim operasi sedikit banyak mempengaruhi kekuatan kelompok Santoso. Ia menyatakan hanya sekitar 30 orang yang kini ikut bergerilya bersama Santoso. Posisi mereka semakin lemah.
Meski begitu, hingga Kamis pekan lalu, tim operasi tak juga berhasil menangkap Santoso. Padahal hari itu adalah tenggat yang dipasang Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Badrodin Haiti untuk menumpas kelompok Santoso. Pada pekan kedua Januari lalu, ketika Operasi Tinombala baru dimulai, Badrodin berjanji meringkus Santoso dalam kondisi hidup atau mati dalam waktu dua bulan. Kami kejar terus dan kami persempit ruang geraknya, ujar Badrodin. Sayangnya, dua bulan berlalu, target itu tak tercapai.
Santoso menjadi orang yang paling dicari di Indonesia. Ia adalah pemimpin Mujahidin Indonesia Timur satu-satunya kelompok di Indonesia yang berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS. Santoso dan kelompoknya bergerilya di wilayah Gunung Biru sejak Desember 2012.
Menurut Leo Bona Lubis, kondisi medan pengejaran yang berat dan luas membuat Santoso tak mudah ditangkap. Ia mengatakan wilayah Gunung Biru masih berupa hutan lebat dengan vegetasi tumbuhan yang rapat. Selain itu, kata Leo, kontur di wilayah itu tergolong ekstrem, yakni berupa perbukitan-perbukitan dan tebing-tebing curam. Itu yang menjadi kendala pengejaran, katanya.
Tim operasi juga kesulitan lantaran Santoso dan kelompoknya hafal betul wilayah Gunung Biru. Menurut Hari Suprapto, situasi ini membuat pergerakan kelompok Santoso di hutan sangat dinamis. Mereka empat tahun menguasai medan, ujarnya. Ia mengatakan penguasaan medan dimanfaatkan Santoso dkk untuk berkomunikasi dengan anggota mereka yang menyuplai kebutuhan gerilya.
Belum tertangkapnya Santoso memaksa Badrodin Haiti memperpanjang Operasi Tinombala hingga dua bulan mendatang. Adapun Hari Suprapto yakin timnya bisa segera menangkap Santoso lantaran posisinya sudah terjepit. Tinggal menunggu waktu saja. (Sumber: Majalah Tempo)