
BISA memproduksi Aiutsista sendiri dengan teknologi berbasis tinggi merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang sudah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945. Sebab upaya tersebut tidak hanya mengangkat nama Indonesia di mata Internasional, tetapi juga mewujudkan kemandirian bangsa untuk bisa meminimalisir risiko ketergantungan persenjataan dari negara lain.
Dalam konteks tersebut, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) melalui Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Budiman telah meluncurkan 15 hasil riset pengembangan alat utama sistem pertahanan (aiutsista) berbasis teknologi tinggi yang digarap bersama Universitas Surya. Hasil riset tersebut telah dipamerkan di Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad), Senin, (7/4).
Riset Aiutsista diperuntukkan selain untuk mendukung rekayasa teknologi modern di lingkungan TNI AD, juga untuk mewujudkan cita-cita kemandirian persediaan aiutsista di dalam negeri. TNI AD berusaha mendorong supaya bisa mengembangkan Alutsista kemudian memperbesar hasil teknologi sehingga tidak berpikir dari luar saja kebutuhan alutsistanya yang ternyata bisa membuat Alutsista dengan kualitas lebih baik dengan harga yang lebih murah.
Adapun 15 program riset teknologi Aiutsista yang telah diselesaikan antara lain: Superdrone, yakni pesawat tanpa awak untuk pemantauan suatu daerah. Dibeberapa negara digunakan sebagai pesawat pembom. Alat konversi BBM ke BBG, yang akan menjadikan kendaraan bermotor TNI AD akan menggunakan bahan bakar hibrid, yakni bensin dan gas. Bioetanol dari sorgum dilengkapi dengan gensetyang sudah dimodifikasi sehingga cocok dengan bieothanol. Laser gunyakni senjata untuk berlatih menembak, dengan senjata tersebut peluru dapat digantidengan berkas sinar laser. Open BTS dengan alat tersebut TNI AD bisa membuat jaringan selular sendiri saat berada di daerah-daerah pedalaman.
VOIP Based MESH Network, alat tersebut merupakan sistem jaringan yang tidak tergantung pada salah satu poin, artinya ketika satu titik rusak, sitem yang lain tidak akan mati dan mudah di-install.APRS and MESH Network, sistem untuk mengatur aiutsista dan tentara ketika berada di lapangan. Nanosatelit, satelit yang beratnya hanya 1 kilogram. Integrated Optronic Defense System, sistem pertahanan dengan memanfaatkan sistem optik dan elektronika. Simulasi komputer 1, software yang dikembangkan untuk menganalisa tank atau alat perang lainnya dan mempelajari kekurangan dan kelemahan alat ini ketika dipakai di Indonesia. Simulasi komputer 2, software untuk menganalisa berbagai senapan. Gyrocopter, prototipe motor terbang, diharapkan dapat membantu transportasi antar pulau-pulau kecil di Indonesia. IPv6, tiap komputer punya alamat yang disebut IP. Multirotor, dipakai untuk pengintaian dan pemantauan daerah. Frapping bird, dipakai untuk pengintaian dan pemantauan daerah.
Biaya riset 31 miliar
Dengan riset dan memproduksi Aiutsista sendiri yang menghabiskan biaya mencapai 31 miliar, TNI Angkatan Darat mengharapkan akan banyak keuangan negara yang dapat dihemat sehingga tidak harus membeli Alutsista di luar negeri karena Angkatan Darat sudah bisa membuat sendiri sebagai produksi dalam negeri. Contohnya, membuat radio manpack 1 unit harganya hanya Rp80 juta, sedangkan kalau beli dari luar negeri harganya mencapai di atas Rp200 juta. Bila dihitung bisa menghemat anggaran Rp 120 juta.
Adanya pengembangan riset tersebut membuktikan bahwa militer Indonesia tidak selalu bergantung dengan negara lain. Ini adalah kesempatan bagi TNI Angkatan Darat untuk melaksanakan riset berbagai peralatan dalam rangka meningkatkan Aiutsista demi kemandirian bangsa. Dengan memproduksi Aiutsista sendiri, dapat meminimalisir risiko ketergantungan persenjataan dari negara asing. Kalau Alutsista beli di luar, pasti alat terhebatnya dipakai sendiri, sedangkan layer kedua mereka berikan kepada sekutunya, dan layer ketiga baru diberikan kepada Negara yang mau membelinya.
Selain menguntungkan dari sisi ekonomis, kemandirian aiutsista juga diperlukan untuk menghindari pengawasan militer negara asing terhadap kekuatan militer nasional. Di samping itu, dampak” ketergantungan kebutuhan alutsista kepada negara lain yaitu penerapan standar ganda dari negara penyedia alutsista kepada negara dunia ketiga seperti Indonesia bisa dihindari.
Dalam riset Alutsista ini, para peneliti dari Universitas Surya melatih para prajurit TNI AD yang terpilih untuk mengerjakan riset berbiaya miliaran tersebut secara bersama-sama. Riset ini diharapkan dapat menciptakan proses transfer alih teknologi dari lembaga akademis ke lembaga TNI AD. Contohnya pada pembuatan nanosatelit. Para prajurit TNI AD dilatih untuk belajar membuat nanosatelit dari nol. Mereka merakit, menyolder, membuat program elektronika, dan lain-lain. Semua harus bisa dikerjakan sendiri oleh prajurit, (Slamet Supriyadi: Perwira Staf Penerangan Khusus Dispenad), Sumber Koran: Pelita (11 April 2014/Jumat, Hal. 09)