Bag-1 (Prolog).
Dalam Kitab Sutasoma, Mpu Tantular bercerita tentang dirinya yang beragama Buddha hidup dengan aman dan damai di tengah rakyat Kerajaan Mahapahit yang mayoritas beragama Hindu. Demikian juga dengan rakyat yang menganut kepercayaan lain. Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada memang mendorong terpeliharanya sikap saling menghargai perbedaan untuk menciptakan kedamaian di lingkungan kerajaan sekaligus sebagai kekuatan yang menyatukan Kerajaan Majapahit dalam mewujudkan cita-citanya menyatukan seluruh kerajaan di wilayah nusantara. Namun dalam perkembangannya, kerajaan Majapahit justru melemah karena perang saudara dan konflik internal. Konflik semacam inilah yang memudahkan masuknya Bangsa Eropa menguasai kerajaan-kerajaan di nusantara, selain karena pertahanannya yang lemah.
Penjajahan yang berlangsung selama kurang lebih 350 tahun di Indonesia menorehkan luka dan trauma yang sangat dalam. Penjajahan tidak hanya merampas wilayah dan kekayaan alam namun juga nyawa orang-orang tercinta. Perlawanan mengusir penjajah yang dipimpin oleh para bangsawan dan tokoh agama yang dilancarkan secara kedaerahan selama ratusan tahun tidak kunjung berhasil. Selain kemampuan militer yang tidak berimbang, perjuangan kedaerahan juga mudah dipatahkan dengan politik adu domba dan pecah belah yang kita kenal dengan politik devide et empera. Lahirnya Boedi Oetomo pada tahun 1908 yang digagas oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan didirikan oleh Dr Soetomo menjadi awal tumbuhnya kesadaran untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia dalam menghadapi penjajah. Kesadaran tersebut kemudian dibulatkan dalam Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Mulai saat itulah, perjuangan kemerdekaan dilancarkan secara nasional dan dalam front politik atau diplomasi dan front militer. Pasca momentum bersejarah tersebut, hanya dalam kurun waktu 27 tahun, dengan persatuan dan kesatuan seluruh bangsa, kemerdekaan dapat diraih pada tahun 1945.
Berbeda dengan beberapa negara di Asia yang memperoleh kemerdekaannya dengan mudah, kemerdekaan Indonesia tidaklah cuma-cuma. Kemerdekaan ini diraih di atas tetesan darah, linangan air mata dan pengorbanan harta benda yang tidak terhitung jumlahnya. Banyak rakyat yang merelakan tanah dan bangunannya sebagai pemusatan kekuatan melawan penjajah. Bahkan rakyat yang tidak mampupun rela menyumbangkan hasil panennya untuk mendukung perjuangan. Semangat rela berkorban jiwa dan raga juga ditunjukkan tanpa gentar dan ragu saat para pejuang yang hanya bersenjatakan bambu runcing harus berhadapan dengan tentara penjajah yang memiliki persenjataan modern.
Walaupun hanya membutuhkan 27 tahun pasca Sumpah Pemuda 1928 sampai dengan diproklamasikannya Kemerdekaan Indonesia, ternyata masa tersebut bukanlah masa yang mudah bagi para pejuang yang menghadapi penjajah diberbagai front. Tidak hanya desingan peluru di medan pertempuran yang mengancam nyawa, pertempuran di meja diplomasipun tidak kalah resikonya. Para pemuda yang berjuang di forum diplomasi seperti Sukarno, Hatta, Syahrir dan Amir Sjarifuddin harus rela menjalani penahanan dan pengasingan di beberapa kota bahkan pulau yang sangat terpencil untuk membatasi aktivitas politiknya. Namun dengan semangat pantang menyerah, hari-hari yang berat tersebut dilalui oleh para pemimpin kita tersebut.
Perjuangan meraih kemerdekaan bukan hanya perjuangan orang Jawa saja, bukan hanya perjuangan kaum lelaki saja atau perjuangan orang Islam saja, tetapi perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Inilah makna kebersamaan dan gotong royong yang sesungguhnya. Semua komponen bangsa berjuang bahu membahu mengangkat senjata maupun di meja diplomasi. Sebagian lainnya berkiprah menyiapkan logistik, mendirikan dapur umum dan rumah sakit lapangan. Tidak ada satupun yang ingin berpangku tangan karena semua ingin menjadi bagian dari perjuangan tersebut.
Pasca diproklamasikannya kemerdekaan, perjuangan bangsa ini bukan berarti telah usai. Mempertahankan dan mengisi kemerdekaan tidaklah lebih ringan daripada merebutnya. Ujian demi ujian terus dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Pemberontakan, separatisme dan radikalisme datang silih berganti. Namun karena tekad dan komitmen sebagai satu bangsa telah dikumandangkan, maka tidak ada pilihan kecuali mempertahankan bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang telah diikrarkan bersama. Inilah makna nasionalisme sesungguhnya. Nasionalisme akan menguat manakala nilai dan harga diri bangsa kita tersentuh seperti halnya pada saat Konflik Ambalat berlangsung atau pada saat Bendera Merah Putih dipasang terbalik di Buku Panduan Asean Games 2017 di Kuala Lumpur beberapa waktu yang lalu.
Saling menghargai perbedaan bersama dengan nilai-nilai luhur lain yang diwariskan oleh para pendahulu kita, telah terbukti ampuh mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan dan menangkal berbagai jenis ancaman terhadap kemerdekaan itu. Nilai-nilai tersebut adalah imunitas atau kekebalan bangsa yang telah melekat dalam tubuh Bangsa Indonesia. Imunitas yang siap menangkal serangan berbagai virus yang mengancam kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kekebalan Bangsa atau Immunity of the nation pada dasarnya adalah daya tahan dan daya tangkal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk menghadapi berbagai persoalan dalam konteks kesatuan bangsa dalam bingkai budayanya. Immunity of the nation atau yang dapat disingkat sebagai immunation ini pada hakekatnya secara inherent telah ada dalam roh bangsa Indonesia, yang selama ini telah menjadi benteng kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itulah, tidak berlebihan apabila prolog ini menyebutkan bahwa imunitas bangsa adalah pengawal sejarah Indonesia yang selanjutnya akan mengawal pembangunan nasional demi mencapai cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia. Uraian lebih lanjut mengenai pentingnya setiap elemen imunitas bangsa akan disajikan pada edisi berikutnya…