TNI dan Polri semestinya tetap pada peran dan fungsi masing-masing. TNI sebagai aparat pertahanan yang bertugas menghadapi musuh negara dari luar, sedangkan polisi sebagai aparat keamanan. Jangan ubah peran TNI menjadi penegak hukum.
Komisi I DPR diminta mendorong reformasi di sektor keamanan yang menjadikan TNI semakin profesional. Peneliti senior Imparsial, Poengky Indarti, Minggu, 13 Maret 2016, di Jakarta, mengatakan, Komisi I DPR semestinya mendorong reformasi, bukan malah memundurkannya kembali ke era Orde Baru.
Semangat reformasi adalah pengaturan tegas dan jelas atas tugas TNI melalui Undang-Undang (UU No 34/2004) TNI dan tugas Polisi melalui UU (No 2/2002) tentang Kepolisian RI. TNI bukan penegak hukum dan tugasnya menghadapi musuh negara dari luar, tutur Poengky.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 5 menyebutkan, peran TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Adapun fungsi kepolisian dalam Pasal 2 UU No 2/2002 di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Terorisme dan peredaran narkoba, lanjut Poengky, termasuk tindak pidana. Hal ini tegas disebutkan dan diatur UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No 35/2009 tentang Narkotika, UU No 5/1997 tentang Psikotropika, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Karena itu, tindakan untuk mengatasinya adalah penegakan hukum dengan aparatnya adalah kepolisian.
Keluar nalar
Hal senada disampaikan Ketua Setara Institute Hendardi secara terpisah. Rencana Komisi I DPR mendorong TNI terlibat dan berada di garda terdepan untuk memerangi terorisme, peredaran narkoba, dan separatisme, menurut Hendardi, adalah kehendak yang keluar dari nalar konstitusional. Selain itu, hal ini muncul dari asumsi masa lalu bahwa TNI mampu menangani segala hal. Asumsi ini dibangun kala Orde Baru merealisasikan ide dwifungsi ABRI.
Kamis pekan lalu, Komisi I DPR dipimpin Ketua Komisi I DPR Mahfudz Sidik mengunjungi Markas Komando Pasukan Khusus TNI AD di Cijantung, Jakarta. Selain mengikuti rapat dengar pendapat, Komisi I juga diperlihatkan aksi penanggulangan terorisme oleh Satuan 81 Penanggulangan Teror Kopassus. Seusai acara, Mahfudz (Fraksi PKS) mengatakan, sudah saatnya TNI dilibatkan secara lebih luas dan aktif dalam mengatasi ancaman keamanan nasional seperti terorisme, separatisme, dan penyalahgunaan narkoba. Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon (Fraksi PDI-P) pun menguatkan pendapat tersebut.
Kalaupun akan melibatkan TNI dalam operasi militer selain perang, tambah Hendardi, semestinya DPR segera menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Perbantuan TNI yang sudah diamanatkan oleh UU No 34/2004 tentang TNI dan sudah lebih dari 10 tahun tidak juga dibahas DPR Tanpa aturan main yang jelas, pelibatan TNI hanya romantisme masa lalu dan menimbulkan masalah baru.
Poengky pun mengingatkan, tak hanya RUU Tugas Perbantuan TNI yang menjadi pekerjaan rumah Komisi I, tetapi juga Revisi Undang-Undang No 31/1997 tentang Peradilan Militer. Menarik TNI ke ranah penegakan hukum bukan saja berarti Komisi I merusak sistem hukum nasional, melainkan juga merusak reformasi TNI/Polri sekaligus, tuturnya. (Sumber: HU Kompas)