Imunitas Bangsa (bagian-4).
Budaya nusantara menyimpan sebuah nilai yang sulit dicari padanannya di belahan bumi yang lain, yaitu gotong royong. Generasi yang pernah tinggal diwilayah pedesaan pada media abad ke-20 masih sangat merasakan bagaimana masyarakat selalu bergotong royong melakukan kegiatan sosial tanpa memikirkan upah atau keuntungan materiil. Gotong royong merupakan aset budaya yang mampu menciptakan suasana yang harmonis antara masyarakat, karena mengandung makna silatuhrami dengan intensitas yang tinggi, jalinan kerjasama dalam berbagai hal, serta perwujudan solidaritas yang kemudian menumbuhkan rasa simpati dan empati masyarakat. Nilai-nilai luhur itu telah mampu menjadi alat perekat untuk memperkuat dan mempererat hubungan mayarakat, dan menjadi modal yang besar untuk mendorong laju pembangunan nasional.
Dalam catatan sejarah, gotong royong itu pula lah yang sangat kental mewarnai dan menjadi salah satu decisive factors keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah dan merebut kemerdekaan. Begitu tingginya nilai dari gotong royong ini, sehingga oleh Presiden Soekarno juga dianggap sebagai intisari dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Presiden Soekarno pernah mengatakan dalam pidatonya bahwa, “Kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua bagi semua! Bukan Kristen untuk Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Hoek buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tapi Indonesia buat Indonesia semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima (Pancasila) menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu “gotong royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara gotong-royong!”
Luhurnya nilai gotong royong dalam budaya Bangsa Indonesia, atau yang dalam masyarakat Jawa dislogankan dengan ungkapan “hulubis kuntul baris” menjadikannya sebagai salah satu bagian dari falsafah hidup. Pada era orde baru, kata gotong royong sering dijadikan kata kunci dalam rangka mensukseskan program-program pembangunan. Melalui gotong royong biaya hidup dan kegiatan pembangunan menjadi lebih murah dan efisien. Presiden Indonesia ke-5 Megawati Sukarnoputri, juga menjadikan gotong royong sebagai nama kabinet.
Salah satu bukti luhurnya nilai gotong royong dalam pembangunan bangsa adalah apa yang ditunjukkan oleh masyarakat Desa Tutul, Kecamatan Balung, di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Desa tersebut berhasil merubah dririnya yang semula miskin menjadi desa wirausaha, berkat prinsip gotong royong dalam mengolah anggaran Desa sehingga menghasilkan laba, bukan justru habis tidak berbekas. Karena prestasinya, Desa Tutul sampai disebut desa tanpa pengangguran, karena hampir seluruh warganya mampu bekerja mandiri.
Globalisasi sebagai fenomena yang tak terelakkan di seluruh dunia, telah membawa berbagai dampak positif dan negatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Secara sosio kultural, globalisasi menyebabkan terjadinya perubahan kultur dan perilaku masyarakat yang cenderung mengarah pada semakin ditinggalkannya “budaya lama” walaupun memiliki nilai luhur dan bersifat universal. Salah satunya adalah semakin berkembangnya faham individualisme yang melunturkan semangat kebersamaan dan gotong royong bangsa Indonesia karena mengutamakan kepentingan, kesenangan dan kebebasan sendiri.
Dalam konteks nasionalisme, Bangsa Indonesia tidaklah anti kemajuan, dan menjadi sebuah keniscayaan untuk mengikuti trend globalisasi yang sedang berkembang. Namun sejarah perjuangan Bangsa Indonesia mencatat bahwa individualisme merupakan salah satu penyebab kegagalan rakyat nusantara melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan. Munculnya kesadaran pada tahun 1928 untuk mengesampingkan individualisme dan menyatukan tekad serta semangat bersama, merupakan kunci dari lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang saat ini telah berusia 72 tahun.
Oleh karenanya, gotong royong ini merupakan sebuah elemen kekebalan tubuh bangsa Indonesia yang harus kita jaga sepanjang masa. Kebersamaan dan gotong royong harus ditumbuhkan pada diri anak-anak kita sejak dini dan dari lingkup yang kecil baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun lingkungan sekitar rumah tinggal. Generasi muda harus dilatih untuk memiliki rasa empati, yang mendasari pikiran dan tindakan untuk senantiasa membantu sesama. Kebiasaan seperti ini apabila berkembang dalam lingkup yang luas, akan berpengaruh pada terjadinya budaya saling membantu dalam berbagai kegiatan sosial dan pembangunan nasional secara efektif dan efisien.
Meskipun Indonesia termasuk dalam kelompok 20 negara dengan ekonomi terkuat di dunia (G-20), namun perlu diakui bahwa pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat masih menjadi tantangan bersama. Dalam rangka mewujudkan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, maka kebersamaan dan gotong royong harus diimplementasikan untuk saling bahu-membahu mendorong saudara sebangsa kita untuk maju bersama. Satunya seluruh kekuatan komponen bangsa adalah dorongan dalam percepatan dan pemerataan pembangunan.
Semoga, semangat gotong royong sebagai salah satu imunitas bangsa ini akan terus menempati posisi terhormat dalam bangsa Indonesia, bukan sekadar menjadi perbincangan di ruang-ruang diskusi dan seminar yang kemudian menghilang di tengah hiruk-pikuknya modernisasi dan hanya menjadi frase tanpa makna. Kita harus menyadari bahwa kelestraian budaya bangsa ini merupakan tanggung jawab bersama anak negeri. Untuk itu mari bersama-sama bergotong royong menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan dan ketertinggalan menuju Indonesia Emas.