Imunitas Bangsa (bagian-2).
Pengajaran sejarah tidak semata-mata memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi faktual di masa lampau, namun juga bertujuan untuk membangkitkan kesadaran sejarahnya (historical sense) dan membuka pemikiran dalam konteks historis, yaitu retrospeksi ke masa lampau, realisasi ke masa kini dan proyeksi ke masa depan (Tridimensional). Dengan mempelajari sejarah maka akan dapat mengambil keputusan serta bertindak dengan bijaksana dan penuh kearifan untuk menghadapi kehidupan, baik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimasa kini, maupun dimasa yang akan datang.
Mpu Tantular di dalam Kitab Sutasoma menuliskan “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa” untuk mengisahkan kerukunan masyarakat Kerajaan Majapahit di sekitar Abad XIV, dimana pada saat itu umat Buddha dan Hindu berdampingan. Mpu Tantular yang beragama Buddha merasa hidup dengan penuh damai di tengah-tengah rakyat Majapahit yang mayoritas beragama Hindu. Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan besar di tanah Jawa yang wilayah kekuasaannya sangat luas hingga Vietnam dan Filipina. Kekuasaan tersebut tidak menjadikan raja dan patih Majapahit bertindak arogan terhadap perbedaan yang berasal dari fitrah manusia.
Selain kisah di atas, Ma-Huan yang mengikuti perjalanan Laksamana Ceng Ho ke Tanah Jawa menulis bahwa rakyat Kerajaan Majapahit hidup dengan sangat damai, tidak ada perselisihan sedikitpun yang disebabkan perbedaan baik agama maupun suku bangsa. Kerukunan antar agama terjalin dengan sangat baik, persatuan dan kesatuan seluruh rakyat juga sangat kuat. Kondisi ini sengaja diciptakan oleh Hayam Wuruk dan Gajah Mada karena meyakini bahwa hanya persatuan dan kesatuan sajalah yang menjadi kekuatan Kerajaan Majapahit. Kerukunan tersebut tidak hanya terjalin diantara sesama rakyat Majapahit, namun juga terwakili di istana. Istana Kerajaan Majapahit memiliki perwakilan dari berbagai agama yang berkedudukan sebagai penasehat raja yang dinamakan Tri Paksa atau Kelompok Tiga, yaitu Rsi, Saiwa dan Sagata, dan Catur Dwija serta Kelompok Empat yang terdiri dari Mahabrahmana (Wipra), Saiwa, Sogata dan Rsi.
Keberagaman suku bangsa dan agama di Indonesia merupakan potensi sumbu api disintegrasi yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Seseorang cenderung lebih mudah marah apabila disentil masalah agama atau kesukuannya. Hal inilah yang terjadi diantaranya di Poso, Ambon, Sampit dan Sambas. Keempat konflik yang mulanya dipicu oleh permasalahan ekonomi berkembang menjadi konflik suku dan agama yang tentunya berdampak luas dan mengakibatkan kerugian materiil dan korban jiwa yang tidak sedikit.
Di paruh pertama tahun 2017 ini, bangsa kita juga baru saja menghadapi dan melewati situasi yang cukup sulit sebagai implikasi dari pelaksanaan Pilkada Serentak, khususnya di DKI Jakarta. Sentimen antar kelompok pendukung pasangan calon Gubernur yang berawal dari penyebaran hoax dan ujaran kebencian di media sosial merebak menjadi pengerahan massa di lapangan. Perkembangan teknologi informasi dan media sosial dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan kerusuhan tersebut untuk kepentingan kelompoknya. Pendalaman terhadap setiap konflik mengungkap bahwa dibalik sentimen suku dan agama, seluruh konflik tersebut, faktor ekonomi, sosial dan demografi bahkan politik juga turut andil dibelakangnya.
Cuplikan sejarah di atas merupakan bukti bahwa menghormati perbedaan telah menjadi salah satu nilai luhur dalam budaya bangsa Indonesia yang telah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Oleh karenanya sangat disayangkan apabila sejarah kerukunan bangsa Indonesia yang sudah mengakar beratus-ratus tahun lamanya ini harus dihancurkan oleh kebencian yang sesungguhnya hanya disebabkan oleh keserakahan dan intrik perebutan kekuasaan diantara kelompok-kelompok tertentu yang tidak peduli pada keutuhan bangsa Indonesia.
Muara dari penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan yang memang merupakan fitrah manusia tersebut adalah terciptanya persatuan. Tanpa persatuan, kita adalah bangsa yang lemah. Hal ini terbukti dalam goresan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang semula hidup sebagai sebaran komunitas kecil dalam bentuk kerajaan. Kedatangan Bangsa Eropa yang niat awalnya adalah berdagang ke wilayah nusantara mendapat sambutan yang hangat, sebagaimana juga kedatangan bangsa Arab, Gujarat dan Tiongkok. Namun ternyata mereka memiliki maksud lain. Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris memiliki niat buruk untuk menjajah Indonesia yang sangat subur dan kaya ini. Perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang cenderung bersifat kedaerahan, sehingga walaupun berlangsung selama ratusan tahun, tidak membuahkan hasil karena tidak seimbangnya kemampuan militer para pejuang dengan kemampuan militer penjajah, serta mudah dipatahkannya perjuangan tersebut dengan politik adu domba.
Kelahiran organisasi pemuda Boedi Oetomo, menandai hadirnya kesadaran akan pentingnya persatuan. Ibarat sapu lidi yang akan bermanfaat jika diikat dan kurang bermakna ketika tercerai berai sebagai batang-batang lidi. Dr. Wahidin Sudirohusodo bersama dengan Soetomo mendirikan Boedi Oetomo mulanya bertujuan untuk mengupayakan kemajuan dibidang pendidikan, pertanian, peternakan, teknik industri dan merawat kebudayaan asli Indonesia.
Pergerakan kebangsaan ini kemudian mencapai puncaknya pada Kongres Pemuda II yang diadakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Pada momentum Sumpah Pemuda inilah lahir komitmen dan semangat persaudaraan sebagai satu entitas bangsa yang menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Indonesia tanpa harus melepaskan jati diri kesukuan dan kedaerahan yang merupakan kekayaan budaya masyarakat Indonesia. Sumpah Pemuda adalah bukti otentik kelahiran Bangsa Indonesia. Hanya dalam kurun waktu 27 tahun setelahnya, atau tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya.
Rangkaian sejarah panjang bangsa Indonesia sejak jaman kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara hingga akhirnya menjadi sebuah negara modern yang merdeka tersebut, menjadi bukti bahwa nilai luhur menghormati perbedaan dan semangat untuk bersatu adalah pondasi yang sangat penting untuk dijaga, agar bangsa Indonesia tetap mampu berdiri tegak kokoh menghadapi gelombang ancaman yang semakin kompleks dan bersifat multidimensional. Bersambung..