Markas Besar TNI menjalin komunikasi dengan militer Papua Nugini dalam upaya pembebasan dua warga Indonesia yang disandera oleh kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) di wilayah negara tetangga itu. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo meminta Papua Nugini mengutamakan lobi. dan negosiasi, kata Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayor Jenderal Endang Sodik, ketika dihubungi Tempo, kemarin.
Menurut Sodik, TNI tak bisa menyergap kelompok separatis tersebut meski dekat dengan perbatasan Papua-Papua Nugini. “Kalau TNI yang turun (menyergap) pasti cepat, tapi masalah ini lintas negara, kata dia. Harus melalui prosedur antarnegara, tak bisa antar tentara saja.
Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan TNI harus mendapat izin pemerintah setempat jika berniat melaksanakan operasi penyelamatan. Kalau sudah dapat izin, terserah TNI mau bergerak sendiri atau mengajak tentara Papua Nugini, katanya.
Sudirman dan Badar, penebang kayu Indonesia di Skofro, Distrik Keerom, Papua, yang berbatasan dengan Papua Nugini, disandera OPM pada 11 September lalu. Mereka kemudian dibawa ke Skowtiau, Vanimo, Papua Nugini.
Menurut Endang Sodik, penyandera tersebut adalah kelompok separatis Jeffrey Pagawak. Mereka buron Polda Papua karena aksi penembakan di Polsek Abepura pada 2012, kata dia. Mereka meminta dua sandera ditukar dengan dua rekan mereka yang ditahan Polres Keerom terkait dengan kasus kepemilikan ganja, tapi TNI menolak permintaan tersebut.
Menurut Hikmahanto, kasus ini mirip dengan peristiwa Woyla di Bangkok, Thailand pada Maret 1981. Ketika itu, pesawat Garuda Indonesia DC-9 Wovla dibajak oleh Komando Jihad dan dibawa ke Bandar Udara Don Muang, Bangkok. Pasukan Komando Sandi Yudha (kini Kopasus) yang dipimpin Sintong Panjaitan dan L.B. Moerdani merebut kembali pesawat itu dan membebaskan penumpangnya. Tapi waktu itu pelaku pembajaknya juga orang Indonesia, katanya. (Sumber: HU Koran Tempo)