
Rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Terorisme mendapat dukungan. Pimpinan lembaga negara menyatakan sepaham dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan revisi tersebut.
Kemarin pimpinan lembaga negara melakukan Pertemuan Konsultasi dengan Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta. Salah satu agenda utama pertemuan adalah membahas mengenai UU Terorisme tersebut.
Dalam pertemuan yang diakhiri dengan makan siang itu, Presiden Jokowi didampingi Wapres Jusuf Kalla menggelar pembicaraan intensif selama hampir tiga jam dengan Ketua DPR Ade Komarudin, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis.
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan bahwa hampir semua pimpinan menilai revisi UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Nomor 9/2013 tentang Pencegahan dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme perlu dilakukan. Bukan kesepakatan, hampir (semua) sepaham, kira-kira begitu. Ini (pertemuan konsultasi) bukan mengambil keputusan, kata Zulkifli seusai pertemuan.
Zulkifli mengungkapkan dalam UU tersebut belum diatur terkait adanya latihan teror, begitu pun warga negara yang berangkat ke luar negeri untuk ikut kegiatan terorisme.
Orang latihan untuk teror belum ada pasalnya, itu Polri minta. Kemudian warga Indonesia yang pergi ke luar negeri juga belum ada dasar hukumnya untuk ditindak, misalnya yang ikut ke Suriah dan sebagainya. Nah itu perlu dilengkapi, kata Zulkifli.
Ketua MPR juga mengungkapkan, jika Presiden menganggap revisi UU membutuhkan waktu lama maka bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Apakah melalui perppu, apakah melalui revisi UU karena revisi kan lama, perlu waktu. Kalau dianggap mendesak banyak teror, bisa perppu. Nanti perppu itu jalan dan disahkan oleh DPR juga, kata Zulkifli.
Hal yang sama juga diungkapkan Ketua DPR Ade Komarudin. Dia menyatakan jika ada kegentingan memaksa pemerintah bisa mengeluarkan perppu.
Kami setuju untuk dilakukan revisi, cuma kami juga memberikan pandangan bahwa revisi itu memerlukan waktu karena memang prosedur dan tahapan-tahapan harus dilalui. Dan kalau memang revisi, itu inisiatif dari pemerintah, kata Ade.
Sementara Presiden Jokowi mengatakan, revisi UU Terorisme ini baru tahap pembicaraan awal dan masih perlu pertemuan lagi untuk membahasnya. Ini tadi baru pembicaraan awal. Ini semuanya di lembaga negara akan ada proses, pada saat kita bertemu lagi mungkin sudah bisa memutuskan, kata Presiden.
Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, rencana revisi UU Terorisme telah dibahas bersama antara pemerintah dan DPR dan dijadwalkan masuk Prolegnas 2016.
Menurutnya, DPR menyampai kanapakah mau ada perubahan revisi dari UU itu atau mau perppu. Tapi intinya, kita mau memberikan kewenangan untuk preemtive. Artinya bisa polisi atau unsur-unsur keamanan itu melakukan penangkapan sementara untuk mendapatkan keterangan mencegah kejadian-kejadian berikutnya, ujar Luhut di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Menurut Luhut, dalam peraturan yang baru UU Terorisme juga akan memuat penambahan waktu penangkapan sementara terduga aksi terorisme dari 24 jam menjadi 1-2 minggu. Pemerintah juga akan melakukan pengkajian peraturan yang diterapkan seperti di Malaysia dan Singapura, sebagi contoh Malaysia SecurityAct untuk keamanan dalam negeri.
Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Fauzie Yusuf Hasibuan mengatakan, pemerintah harus hati-hati dan memperhatikan beberapa hal dalam melakukan revisi ataupun penyempurnaan UU Terorisme.
Pertama, adanya kewenangan kepolisian untuk menangkap dan memeriksa terduga terorisme, dan jika di kemudian hari tidak terbukti maka negara harus memulihkan nama baik mereka, kata Fauzie di Jakarta kemarin.
Menurut Fauzie, dalam rangka penegakan hukum, pencegahan lebih baik daripada penindakan. Keberadaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kata dia, harus jelas tugas dan ke wenanganya, tidak seperti saat ini yang kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Saat ini kan yang melakukan penindakan selalu polisi sedangkan BNPT masih belum jelas tugas dan fungsinya karena cara kerjanya masih campur aduk antara penindakan, kebijakan, dan supervisi, kata Fauzie,
Dia menyarankan agar BNPT berkonsentrasi untuk melakukan pencegahan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat, terutama generasi muda mengenai bahaya terorisme.
Meski demikian, dalam revisi UU Terorisme, pemerintah juga harus membuat klasifikasi bentuk ancaman dan pihak yang melakukan ancaman tersebut.
Peradi sendiri, menurut Fauzie, mendukung upaya pemerintah untuk melakukan pemberantasan tindakan terorisme sehingga pembangunan bisa berjalan sebagaimana yang telah dicanangkan.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq meminta para pemangku kebijakan untuk duduk bersama, menyikapi usulan revisi UU Terorisme. Hal itu diungkapkan Mahfudz saat menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama KSAL Laksamana Ade Supandi terkait pembangunan alutsista di Mabes TNI AL Cilangkap JakartaTimur, kemarin.
Menurut Mahfudz, pemerintah sebaiknya duduk bersama dengan pemangku kepentingan
seperti BIN, Polri, TNI, BNPT untuk mengkaji perangkat undang-undang sehingga konsep yang diajukan lebih terpadu dan komprehensif. Sebab kalau hanya usulan masing-masing lembaga, kata dia, nanti sifatnya sektoral, parsial dan terjadi ketidaksinkronan antara institusi satu dengan institusi yang lainnya.
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa revisi UU Terorisme sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah. TNI hanya menjalankan peraturan.
Itukan urusan pemerintah, saya melaksanakan saja. TNI tidak pernah berpikir (kewenangan) bertambah atau berkurang, yang penting TNI bisa mengabdikan yang terbaik untuk bangsa dan rakyat Indonesia, ujar Panglima di Mabes TNI Cilangkap.(Sumber: HU Seputar Indonesia)