
Satu jenazah yang diduga anggota kelompok teroris pimpinan Santoso ditemukan di Desa Leilo, Kecamatan Lore Barat, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Rabu, 16 Maret 2016. Saat ini, pasukan gabungan Polri-TNI terus memburu kelompok Santoso hingga ke Poso bagian selatan.
Korban tidak bisa diidentifikasi secara visual karena badannya sudah membusuk di tepi Sungai Lariang. Menurut Kepala Polda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal (Pol) Rudy Sufahriadi, di kepala korban terdapat lubang dan luka tembak di pinggang. Diperkirakan meninggal tiga hari lalu, ujarnya di Palu, Sulteng, Kamis, 17 Maret 2016.
Selasa lalu terjadi kontak senjata antara aparat gabungan Polri-TNI dan sejumlah anggota kelompok Santoso di pegunungan Desa Talabosa, Kecamatan Lore Piore, Poso. Dua anggota teroris yang berasal dari etnis Uighur, Republik Rakyat Tiongkok, tewas. Catatan Kompas, terhitung tujuh anggota kelompok Santoso tewas dalam Operasi Tinombala selama 2,5 bulan. Aparat masih memburu sekitar 48 anggota kelompok Santoso, yang empat di antaranya warga etnis Uighur.
Pasukan gabungan Polri-TNI yang bergabung dalam Operasi Tinombala saat ini berkonsentrasi di pegunungan daerah Napu, bagian selatan Poso. Kelompok Santoso bergeser ke tempat tersebut dari wilayah pegunungan di Kecamatan Poso Pesisir Selatan dan Poso Pesisir Utara diduga karena tidak lancarnya distribusi logistik Jalur distribusi dijaga ketat aparat. Selama bertahun-tahun sejak 2007, daerah yang dikenal dengan Pegunungan Biru itu menjadi basis gerilya Santoso.
Kepala Bidang Humas Polda Sulteng Ajun Komisaris Besar Hari Suprapto berharap, masalah terorisme di Poso segera tuntas dengan terus tewasnya anggota kelompok Santoso.
Di Denpasar, Gubernur Bali Made Mangku Pastika berkomitmen membangun sistem keamanan berstandar internasional di Bali. Komitmen itu terkait peringatan sejumlah negara agar warganya berhati-hati mengunjungi Indonesia, khususnya Bali.
Peringatan itu hak setiap negara, kata Pastika.
Ideologi Radikal
Revisi Undang-Undang Terorisme dinilai tidak memberikan jawaban bagi upaya melawan teror sepanjang tidak memasukkan upaya pemerintah melawan ideologi radikal. Menurut Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani, aksi teror yang dilandasi sebuah ideologi radikal tidak akan mati dengan serangan tentara. Pendidikan menjadi iljung tombak menguatkan perlawanan melawan ideologi radikal, kata Jaleswari.
Menurut Jaleswari, Pancasila sebagai sebuah ideologi kini menghadapi tantangan berat lantaran banyak pusat intelektual justru telah disusupi ideologi radikal. Dia mengutip sebuah penelitian yang menyebutkan, 52,3 persen siswa mendukung kekerasan untuk solidaritas agama dan 14 persen siswa membenarkan aksi peledakan bom yang dilakukan teroris. Penelitian itu dilakukan terhadap 500 siswa di Jabodetabek (Kompas, 19 Februari 2016).
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris mengatakan, draf revisi UU Terorisme berpotensi melanggar hak asasi manusia. Sejumlah pasal di dalam draf itu berpotensi disalahgunakan, seperti kemungkinan penahanan selama enam bulan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak terorisme. (Sumber: HU Kompas)