Aceh – Sepeda motor yang dikendarai pria berpangkat sersan dua itu berjalan menyusuri jalanan di antara perkebunan. Seragam loreng dan sepatu laras melekat di tubuh tegapnya. Panasnya sengatan mentari siang itu tidak menyurutkan niatnya untuk bertemu beberapa warga. Tiba di lokasi, dia menyapa lembut dua orang yang sudah menunggu.
Dialah Serda Sigit Mahyudi, anggota Koramil 01/Seulimeum Kodim 0101/BS. Sejak 2015 silam, dia bertugas sebagai Bintara Pembina Desa (Babinsa). Wilayah pembinaannya meliputi Desa Lambada di Kemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimeum, Aceh Besar, Aceh.
Awal bertugas sebagai Babinsa, Sigit merasa canggung berada di tengah-tengah masyarakat di desa binaannya. Maklum, penduduk di sana mayoritas berprofesi sebagai penanam ganja. Sejak pertama bertugas di Koramil, Sigit mendapat perintah untuk membina mereka agar berubah menjadi petani tanaman produktif. Perjuangannya untuk mengembalikan warga ke ‘jalan yang benar’ memang tidak mudah.
“Butuh waktu kurang lebih sekitar 3 bulan. Kita menyadarkan mereka mengajak ke arah lebih baik,” kata Sigit saat ditemui di Desa Lambada beberapa waktu lalu.
Minggu pertama bertugas sebagai Babinsa, Sigit meluncur ke desa binaannya yang berjarak sekitar 25 km dari Koramil. Dia dibekali satu unit motor operasional agar mudah mencapai lokasi. Sigit berangkat ditemani tiga orang Babinsa lain yang juga bertugas untuk wilayah pemukiman Lamteuba. Tapi khusus untuk daerah Lambada, menjadi tanggungjawabnya. Begitu tiba, Sigit menemui perangkat desa dan pemuda.
Sigit selanjutnya mengajak mereka ke sebuah warung kopi yang ada disudut desa. Momen pertemuan itu dimanfaatkan untuk menjalankan ‘misinya’. Ia memberi pemahaman kepada kepala desa agar mengajak warga untuk meninggalkan profesi sebagai petani ganja. Setelah perangkat desa berhasil digandeng, baru sosialisasi digelar.
Dua bulan pertama, sosialisasi dilakukan dalam bentuk pengajian dan ceramah-ceramah agama. Berbagai pendekatan lain juga dilakukan, mulai face to face hingga mengajak mereka ngopi bareng. Sigit butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi tingkah masyarakat. Warga tidak langsung menerima apa yang disampaikan pria asal Kota Gombong, Kebumen, Jawa Tengah itu.
Pernah suatu ketika saat sosialisasi di sebuah warung kopi, warga yang hadir awalnya mencapai sekitar 25 orang. Sigit dengan percaya diri berbicara di depan mereka. Tapi apa lacur, dia ditinggal peserta. Satu persatu warga meninggalkan lokasi dengan alasan ada kegiatan lain. Hingga acara berakhir, cuma tujuh masyarakat yang setia mendengar dan bertahan.
“Memang awalnya sangat susah, karena mereka berprinsip apa yang kira-kira bisa membuat hasil yang cepat dan besar. Untuk mengubah itu kita lakukan pendekatan global,” jelas lulusan Tamtama TNI tahun 2002 itu.
Kesabaran dan perjuangan Sigit membuahkan hasil. Lambat laun, para petani di sana mulai tergerak hatinya untuk berubah. Meski tidak banyak, tapi sudah ada satu dua yang menunjukkan iktikadnya. Agar misinya berjalan sukses, Sigit juga bekerjasama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Dinas Pertanian.
“Untuk merubah mindset mereka tidak semudah yang diharapkan. Padahal proyek ini diharapkan segera (bisa) dibuat untuk mensejahterakan masyarakat,” ungkap Sigit.
Setelah tiga bulan sosialisasi berlangsung, baru menunjukkan hasil memuaskan. Para mantan petani ganja sepakat dengan Sigit untuk mengubah ladang ganja menjadi tanaman produktif. Mereka menyerahkan masing-masing satu hektare lahan bekas kebun ganja untuk dapat dicetak sawah baru.
Serda Sigit, Berperang Mengubah Pola Mikir Masyarakat
Sersan Dua Sigit terbilang masih baru di jajaran Koramil 01/Selimeum Kodim 0101 BS. Sebelum bertugas sebagai Bintara Pembina Desa (Babinsa) pada 2015 silam, Sigit merupakan pasukan tempur di Batalyon Raider, satuan elite infanteri TNI. Tulisan “Raider” dan “Mobil Udara” masih terpasang rapi pada lengan kanan bajunya. Tapi peralatan tempur: senjata api, helm baja, sangkur, dan rompi anti peluru kini tidak lagi menemani hari-harinya.
Keseharian Sigit berubah. Pertempurannya pun kini bukan lagi dengan kelompok bersenjata atau musuh bersenapan. Ia harus berperang mengubah pola pikir masyarakat Desa Lambada agar meninggalkan tanaman ganja. Sebelum terjun ke tengah-tengah warga, Sigit juga ditempa untuk menjadi Babinsa.
“Kurang lebih saya sudah bergabung di sini sejak selesai pendidikan. Saya langsung diterjunkan oleh komandan Kodim saya di wilayah Seulimeum di Lambada,” kata pria yang sudah bertugas di Aceh sejak Januari 2003 silam.
Perjuangan Sigit selama tiga bulan memang tidak sia-sia. Berkat tangan dinginnya, lahan seluas 98 hektare milik 98 petani di Desa Lambada berhasil “disulap” menjadi sawah dan perkebunan. Sebelum proses cetak ladang baru dikerjakan, Sigit mengimbau masyarakat di sana untuk membersihkan lahan mereka dari tanaman ganja.
“Pak kita tinggalkan dulu tanaman tidak bermanfaat ini kita beralih ke tanaman bermanfaat,” begitulah sepenggal kalimat yang sering diucapkan Sigit kepada warga.
Petuah Sigit melekat di kepala masyarakat. Saat proses pengalihan berlangsung, Sigit tidak melihat lagi ada tanaman ganja di sana. Pengerjaan cetak lahan baru ini melibatkan prajurit TNI, Dinas Pertanian Aceh Besar dan masyarakat setempat. Setelah jadi, masyarakat di sana menanam padi gogo, cabai dan kacang kedelai.
Masa panen perdana padi dan berbagai tanaman lain dilakukan Pada Minggu 2 April 2017 silam. Hadir kala itu Komandan Kodim 0101/BS saat itu Kolonel Inf Mahesa Fitriadi, Kepala Dinas pertanian Aceh Besar, anggota DPRK Aceh Besar Tgk Nurdin Johan, dan beberapa pejabat serta masyarakat. Dengan gembira, mereka memotong padi yang ditanam dibekas ladang ganja.
“Kita koordinasi dengan Dinas Pertanian dan bimbingan dari komando atas. Alhamdulillah dulunya di sini lahan ganja sekarang sudah dibuat jadi lahan baru jadi lahan cetak sawah,” ungkap Sigit.
Lokasi lahan 98 hektare yang sudah disulap jadi sawah sekaligus perkebunan ini terletak tidak terlalu jauh dari jalan Lamteuba-Seulimeum. Untuk menuju ke sana, dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau pun roda empat jika sedang tidak hujan. Kiri-kanan jalan lintas ke bekas ladang ganja ini merupakan perkebunan warga.
Meski sudah berhasil menyulap ladang ganja, Sigit masih ingat betul kenangan-kenangan saat ia masih melakukan sosialisasi ke warga. Dari ditinggal pergi hingga diberi lintingan ganja. Sigit berkisah, suatu hari di tengah-tengah sosialisasi, dirinya mendapat “hadiah” dari seorang warga.
“Pernah diberikan lintingan ganja dalam bentuk rokok. Katanya “bang kita ngerokok dulu”. Tapi karena waktu itu saya tidak merokok saya terima saja. Itu pengalaman yang tidak saya lupakan. Saya simpan (rokok berisi ganja itu) kemudian saya buang,” kisah Sigit.
Menjadi seorang Babinsa juga menjadikan Sigit dapat mempelajari berbagai karakter masyarakat di desa binaannya. Selain itu, dia juga dapat menikmati kehidupan bersama warga. Meski demikian, hal-hal menantang seperti saat dipasukan tempur kini mulai jarang dijumpainya.
“Menantang pasti lebih menantang pasukan Raider, pasukan tempur. Cuma (Babinsa) lebih bersahaja hidup bersama masyarakat. Sangat indah sekali,” kata Sigit sembari tersenyum. (asp/asp) (https://news.detik.com)