
[JAYAPURA] Kepala Penerangan Kodam XVII/ Cenderawasih, Kolonel Inf Lismer Lumban Siantar mengatakan, prajurit TNI sebagai Satgas Pengamanan Perbatasan PNG-RI terus menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat di sekitar perbatasan tersebut. Banyak kegiatan kemasyarakatan yang digelar TNI, sebagai wujud bimbingan internal (Binter) TNI dengan masyarakat.
“Kami menilai, warga perbatasan PNG-Papua sudah menyatu dengan TNI. Buktinya, warga menyerahkan satu unit senjata laras panjang jenis Mouser, dengan tiga butir amunisi di sekitar perbatasan Kabupaten Keerom kepada Satgas Pamtas PNG-RI Yonif 642/KPS, Minggu (26/1) pagi sekitar pukul 08.00 WIT,” kata Kol Lismer Lumban Siantar dalam siaran pers yang diterima SP, Minggu (26/1) malam.
Dikatakan, Binter yang digelar prajurit Satgas Pengamanan Perbatasan 642/KPS antara lain dalam bentuk bhakti sosial, pengobatan massal, kegiatan agama, dan kegiatan sosial lainnya, seperti mengajar, pendampingan pertanian, dan lain-lain.
“Dengan adanya pendekatan-pendekatan dan pembinaan teritorial dari prajurit yang bertugas di Satgas Pamtas dengan masyarakat sekitarnya maka terjalinlah hubungan yang harmonis,” ujarnya.
Hal itu, katanya, sesuai dengan harapan Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Drs Christian Zebua, yang selalu menekankan kepada seluruh prajurit yang bertugas di Papua, agar dalam menjalin hubungan dengan masyarakat lebih menitikberatkan pendekatan agama, budaya, dan kesetaraan.
TNI juga ikut membantu mengatasi kesulitan rakyat di sekelilingnya, sehingga kehadiran prajurit TNI dapat diterima serta dicintai oleh rakyat. Kalau TNI mencintai rakyat, maka rakyat akan mencintai TNI. Jika TNI bersama rakyat, Negara kuat,” ujarnya.
Pelanggaran HAM
Di tempat terpisah, Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, sebagai salah satu lembaga advokasi di Tanah Papua mengajak segenap lapisan masyarakat Papua untuk “melawan lupa” terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak tahun 1963 hingga saat ini.
“Kami mendesak agar pelanggaran-pelanggaran HAM itu diselesaikan sesuai mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia dan dunia internasional,” kata Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy kepada SP.
Hal ini penting, katanya, karena sesuai dengan amanat Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik, maupun Kovenan tentang Hak-hak Sosial, Ekonomi dan Budaya. “Bahkan, dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM secara tegas sudah diberi ruang dan kesempatan bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut,” katanya.
Seperti diketahui, semenjak peralihan administrasi pemerintahan di atas tanah Papua dari United Nations of Temporary Emergency Administration (UNTEA) kepada Pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, berbagai operasi keamanan dilakukan oleh TNI di sejumlah daerah di Tanah Papua. Dalam operasi itu, senantiasa terjadi tindakan kekerasan aparat, yang berdimensi pelanggaran hak asasi manusia.
“Tindakan-tindakan tersebut, nyata-nyata menimbulkan perasaan takut, trauma, bahkan kebencian di hati masyarakat-Papua dari waktu ke waktu, tapi tidak pernah terselesaikan secara hukum. Malahan, terkesan dibiarkan dan cenderung merupakan impunitas yang sangat merugikan posisi hukum dari Pemerintah Indonesia di mata para aktivis HAM internasional,” ujar peraih penghargaan internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” tahun 2005 dari Kanada tersebut.
Dia mengajak seluruh rakyat Papua untuk terus mendorong diselesaikannya berbagai kasus pelanggaran HAM. Misalnya, kasus dugaan pembunuhan kilat terhadap 53 orang asli Papua pada tanggal 28 Juli 1969 di Markas Batalyon Infantri 752 di Arfai-Manokwari.
Yan, yang juga anggota Steering Committee Foker LSM se-Tanah Papua, Sekretaris Komisi HAM, Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan pada Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari/Pembela HAM (Human Rights Defender) di Tanah Papua, mendesak semua komponen perjuangan hak-hak sipil dan politik rakyat Papua untuk segera bersatu dalam memperjuangkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, yang terjadi semenjak tahun 1963 hingga saat ini, dengan senantiasa menggunakan mekanisme hukum nasional dan internasional yang berlaku. [154], Sumber Koran: Suara Pembaruan (27 Januari 2014/Senin, Hal. 13)