Panen saat yang paling ditunggu oleh petani dalam mengenyam hasil kerjanya kurun waktu 3 bulan. Namun kenyataan tidak sesuai dengan yang diimpikan para petani, karena harga gabah di tingkat petani berada di bawah ketetapan harga pembelian pemerintah (HPP). Tim Sergap Koramil-13/Leksono menyergap gabah petani langsung di sawah milik bapak Amar Sojokerto dengan jenis IR sebanyak 9 ton GKP dengan kadar air 20%, Selasa(3/5).
Tim Sergap Koramil-13/Leksono yang di pimpin Kapten Inf Sutarjo dan Batuud Pelda Rohmat, dan seluruh Babinsa selaku pelaksana lapangan. Mereka bekerja keras mengoptimalkan kerjanya dalam melakukan penyerapan gabah dari petani. Sertu Slamet Riswandi selaku Babinsa desa Sojokerto, melakukan pembelian gabah milik bapak Amar. Sebelum dibawa ke Bulog digiling dulu di penggilingan padi yang ada di Sojokerto. Setelah menjadi beras baru dikirim ke Bulog dengan harga 7.300/kg. Dari hasil panen sejumlah 9 ton setelah digiling menjadi 5,5 ton beras dan dikirim ke Bulog.
Bulog Sawangan bekerja keras dengan gandeng TNI untuk melakukan percepatan penyerapan gabah dari petani di Kabupaten Wonosobo. Tergabung dalam tim ‘Sergap’ Bulog bersama jajaran Kodim 0707/Wonosobo, KUPT Pertanian dan PPL, langsung turun ke sawah untuk melakukan transaksi penyerapan gabah ditingkat produsen. Menurut Sutarjo, langkah turun langsung ke sawah itu dilakukan Babinsa supaya harga pasar gabah ditingkat petani tidak anjlog, sehingga petani dapat merasakan hasil kerjanya yang sangat diharapkan. “Hal ini dilakukan bertujuan untuk percepatan serapan oleh Bulog Wonosobo juga stok gabah dan beras secara nasional,” ujar Sutarjo.
Lebih lanjut Danramil memerintahkan kepada Babinsanya agar tidak ada pihak ketiga (Tengkulak) yang masuk ke petani, yang hasil panennya sudah di beli oleh Babinsa yang akan diteruskan ke Bulog. Menurut dia, dengan kerjasama yang saling bahu-membahu dalam rangka percepatan penyerapan beras dan gabah petani, diharapkannya swasembada pangan nasional yang menjadi program pemerintah Republik Indonesia segera terwujud. Memang sudah menjadi kebiasaan dan bukan rahasia lagi. Sejak lama petani di Indonesia tak pernah menikmati 100% hasil dari kerja keras mereka dalam waktu tiga bulan bercocok tanam padi. Posisi tawar yang rendah membuat petani tak bisa berbuat apa-apa saat harga anjlok. “Berapapun total hasil panen dari petani, mereka bayar sesuai yang disepakati. Menyesal memang karena harganya jatuh sekali. Apalagi kalau kita bukan masuk jaringannya, harga bisa ditekan serendah mungkin,” sesalnya.
“Masalah pengeringan atau penjemuran biasanya akan dilakukan tengkulak. Memang tidak perlu capek-capek untuk mengeringkan, tetapi hasil yang kita terima jadi kecil sekali bahkan cenderung merugi,” tutur Sutarjo. Menurutnya, selama ini petani sudah terbiasa menjual ke tengkulak, meski dengan terpaksa menderita kerugian. Ini dilakukan lantaran petani kerap mendapat penolakan dari Bulog saat akan menjual gabahnya. “Petani banyak menyetor hasil panennya, tapi ditolak karena berasnya banyak patah, menirnya banyak atau dibilang kuota sudah terpenuhi,” ceritanya. Menurut Danramil sekarang Bulog tidak seperti rumor yang beredar, sulit untuk menjual hasil panen ke Bulog. Hanya pesan Danramil sehubungan Bulog belum punya mesin pengering, diharapkan menjual ke Bulog sudah dalam bentuk beras, paparnya..