Skip to main content
Berita Satuan

Bergandengan Tangan MenjagaKedamaian Tanah Tolikara

Dibaca: 196 Oleh 23 Jul 2015Tidak ada komentar
TNI Angkatan Darat
#TNIAD #TNIADMengabdiDanMembangunBersamaRakyat

Situasi mencekam pasca in­siden di Karubaga, Kabu­paten Tolikara, pada 17 Ju­li 2015 telah berlalu. Seluruh warga bersatu dan mengusung semangat Kumbiwaruwok yang berarti bergandengan tangan demi perdamaian selamanya di wilayah Lembah Toli itu.

Rabu, 22 Juli 2015, sekitar  pukul 10.00 WIT,  suhu udara di Ka­rubaga sekitar 20 derajat Celsius. Jika malam hari sampai pagi terutama pukul 23.00-07.00 WIT, suhu udara berkisar 10-14 derajat Celsius. Suhu seperti itu selalu terjadi di semua wilayah pegunungan tengah Papua, se­perti Puncak dan Lanny Jaya.

Pagi itu, sekitar 200 orang terdiri warga asli Papua yang juga aktivis gereja setempat ber­sama umat Muslim dan aparat TNI/Polri di Tolikara memadati sebuah lahan seluas 15.000 me­ter persegi. Di tempat itu, masih ada sisa puing-puing bangunan 54 kios dan sebuah mushala yang dibakar sekelompok warga pada Jumat lalu.

Mereka  bersama-sama  membersihkan  puing-puing sisa bangunan, mengangkat seng dan sisa kayu yang terbakar. Saya sangat  senang  kami  bisa  ber­aktivitas  bersama  lagi.  Inilah ke­hidupan kami di Tolikara yang sebenarnya, ujar Lince Wenda (29), aktivis gereja setempat.

Baca juga:  SERBUAN TERITORIAL DAN PROGRAM SWASEMBADA PANGAN KODIM 1619/TABANAN

Aki Yikwa, warga asli Toli­kara lainnya, juga turut terlibat dalam kegiatan itu. Perempuan 67 tahun itu tampak sibuk mengangkat puing-puing dari bangunan kios yang terbakar.

Kios milik Aki juga terbakar. Ia tak sempat menyelamatkan uang Rp 25 juta yang tersimpan di dalam kios. Saat kejadian itu, Aki masih menyiapkan kue di rumahnya Namun, nenek em­pat cucu ini tidak dendam ke­pada pelaku pembakaran. Ia berharap kedamaian di Tolikara langgeng selamanya. Setiap ha­ri saya menjual berbagai jenis kue di tempat ini. Menurut ren­cana, saya mau menabung uang itu di bank. Namun, nasib saya kurang beruntung. Yang pen­ting, perdamaian telah tercapai dan saya ingin kembali berju­alan kue, ujar Aki.

Suryadi  (23), warga  lainnya  juga  menyatakan  hal  serupa. Pe­dagang  pakaian  asal Bone, Sulawesi  Selatan,  ini mengadu na­sib di Tolikara sejak 2008. Pe­muda ini meyakini- musibah itu sudah digariskan Tuhan. Saya berharap pihak-pihak di luar Tolikara tak lagi membuat ma­salah baru karena insiden ini sudah terselesaikan, ujarnya.

Baca juga:  Jaga Kebhinneka Tunggal Ikaan Dalam Wadah Nusantara Bersatu

Minta maaf

Semangat warga Tolikara un­tuk membangun rekonsiliasi ti­dak berhenti seusai kerja bakti. Ketua Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Cabang Tolikara Nayus Wenda dan Ustadz Ali Muchtar selaku perwakilan dari ratusan pengungsi dipertemukan Bupati Usman Wanimbo di lokasi ter­sebut. Keduanya saling berpe­lukan erat dan mengucapkan janji untuk menjaga perdamaian di Tolikara. Suasana haru me­nyertai momen itu.

Saya      selaku    pimpinan   dari     274     gereja    di   Tolikara menyam­paikan permintaan maaf bagi seluruh warga yang terganggu. Kejadian ini sungguh di luar du­gaan kami. Sebab, seluruh warga di sini meski berbeda agama te­lah hidup berdampingan dengandamai selama puluhan tahun, kata Nayus.

Ali pun mengharapkan, selu­ruh umat Muslim di seluruh Nusantara tak boleh lagi me­ngeluarkan komentar negatif dan mengambil tindakan balas dendam. Sebab, seluruh masya­rakat di Tolikara telah bersatu.

Minim komunikasi

KepalaPusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Al Fatah Jayapura Suparto Iribaram mengatakan,  penyebab utama insiden itu  adalah  minimnya ko­munikasi antarbudaya.

Baca juga:  Panglima TNI Terima Laporan Korps Kenaikan Pangkat 57 Pati TNI

Karakter masyarakat Papua akan memperjuangkan sesuatu yang diyakininya.  Ketika  sedang  melaksanakan konferensi, ke­mungkinan besar mereka sama sekali tidak mengetahui tata ca­ra dan betapa penting makna Shalat Idul Fitri bagi kaum Muslim, ujar Suparto.

Ia pun menuturkan, ajaran GIDI lahir di Tolikara. Itulah membuat  mereka  begitu   domi­nan  mempertahankan keyakin­annya. Sikap mereka seperti mencontohi daerah lain di In­donesia, misalnya  Aceh  yang di­juluki Serambi Mekkah. Seha­rusnya media massa tak mem­buat pemahaman sepihak atas insiden ini, katanya.

Bahkan, dalam pandangan­nya, ketimpangan ekonomi bu­kanlah pemicu utama terjadinya insiden itu. Justru masyarakat setempat sangat membutuhkan para pedagang ini agar tidak ke­kurangan bahan kebutuhan po­kok, tambahnya.

Bupati Tolikara Usman Wa­nimbo menilai toleransi beraga­ma di Tolikara telah terpelihara sejak puluhan tahun. Kami te­lah hidup rukun dan harmonis bersama kaum Muslim sejak ta­hun 1989. Insiden ini hanya terjadi dua jam. Namun, banyak pihak yang sengaja membesar-besarkan masalah ini,” ujarnya. (Sumber: HU Kompas)

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel