TNI AD – Atambua, Perbatasan Republik Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste di bawah telapak kaki kami. Batas-batas inilah yang terus dijaga oleh para personel TNI yang bertugas di perbatasan.
Pada Jumat (31/3/2017) sore di bawah mendung, tujuh orang tentara sudah bersiap melakukan patroli. Di Pos Motaain, para personel Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan dari Yonif Raider 641/Beruang ini memeriksa kondisi senapan serbu masing-masing. Salah seorang dari mereka memasang Bendera Merah Putih di rompi lorengnya.
Mereka hendak melakukan patroli pengecekan kondisi pilar batas negara, sekalian memastikan keamanan di kawasan terdepan. Komandan Pos Motaain, Lettu Inf Agus Sudarsono, menyatakan patroli semacam ini rutin digelar paling tidak sebulan sekali.
“Bila ada pelintas ilegal, kita hentikan dan kita periksa,” kata Agus kepada para personelnya.
Saat hujan turun mereka, Berangkat keluar pos, senjata mereka lintangkan di depan perut dengan pucuk mengarah ke bawah. Mereka mulai memasuki bagian kecil dari kawasan hutan adat. Terdapat semak-semak, pohon sagu, dan pohon jati di sini.
Di depan ada pagar yang memisahkan hutan dengan kebun warga. Satu per satu, mereka melompati pagar itu. Berjalan sekitar 50 meter, tentara sampai di tepi anak sungai Malibaka, warga setempat biasa menyebut anak sungai ini sebagai Motaain, bagian dari alur Motabiku.
Dalam Bahasa Tetun, ‘mota’ artinya sungai, dan ‘ain’ artinya kaki, bagian tubuh paling bawah. Disebut sebagai ‘sungai kaki’ karena lokasinya memang paling bawah dan tak terlalu jauh dengan laut.
Para tentara turun dari tebing dua meter memanfaatkan tangga kayu. Kemudian mereka berbasah-basahan menyusuri sungai yang kebetulan airnya sedang tidak deras.
“Ini kita harus selalu waspada. Ada air bah yang bisa datang karena hujan. Kita harus cepat-cepat naik kalau terdengar suara gemuruh,” kata Komandan Kompi Tempur I RDTL Yonif Raider 641/Beruang Letnan Satu Inf Miftakhul Khoiron.
Hampir saja kami tertipu oleh suasana sungai ini. Sekilas memang sungai selebar 30 meter ini terlihat jinak. Tak ada air yang bisa mencapai lutut. Di sana-sini ada bagian yang tak teraliri air dan menampakkan batu-batu kali. Namun peringatan Miftakhul membuat lebih waspada.
Secara umum, sungai memang menjadi wujud dominan perbatasan kedua negara di sini. Total ada 43 pos perbatasan Indonesia-Timor Leste di Nusa Tenggara Timur. Tiap pos dijaga oleh 15 personel TNI, selama sembilan bulan terakhir, yang berjaga adalah Batalyon Infanteri 641/Beruang dari Kalimantan Barat.
Untuk di Motaain, sungai bukan titik persis batas kedua negara. Ini berbeda dengan kondisi di Turiskain, Kecamatan Raihat, Sungai Malibaka menjadi pemisah simetris antar negara.
Tentara terus berpatroli di Motaain. Setelah sungai ini, masih ada kebun-kebun yang masuk teritori Indonesia. Baru di titik inilah pilar batas negara bisa ditemui.
Pilar itu terbuat dari cor-coran, dengan pelat logam bundar di atas dan pelat logam kotak di sampingnya. Di pelat logam bundar tertulis dua nama negara, Indonesia-Timor Leste. Tulisan dibuat saling berlawanan, menandakan dua arah teritori negara.
“Batas negara, fronteira border, 2005,” begitu bunyi tulisan di pelat logam ini.
Menengok ke arah Timor Leste, jalan lurus selebar 6 meter. Ini bukan jalan aspal melainkan bermaterialkan tanah dan kerikil. Ini adalah wilayah Batugade, Distrik Bobonaro, Timor Leste, alias sudah luar negeri. Terlihat babi-babi milik warga berkeliaran di sana-sini.
Tentara yang memegang senjata tak mendekat ke titik ini. Di seberang jalan ada pagar kayu dan kawat Di balik pagar itu ada rumah beratap alang-alang, seorang pria paruh baya tersenyum ke kami. Dia adalah warga Timor Leste.
Para serdadu perbatasan berderap lagi menuju utara. Sesekali kami kewalahan mengikuti gesitnya langkah mereka. Di titik perbatasan ini, di antara kami ada yang mengaktifkan ponsel pintar. Ternyata di sini sudah ada sinyal 4G Telkomsel, live Instagram dilakukan oleh salah satu awak.
Kali ini yang ditembus adalah medan berlumpur tebal di antara pohon-pohon sagu. Mereka tampak tidak kesulitan melangkah di kondisi seperti ini. Beruntung, hujan sudah mulai reda.
Sesekali mereka mengendap-endap, berjongkok di antara pepohonan. Senapan mereka dipegang erat. Tatapan mereka tajam mengawasi ke celah-celah tetumbuhan. Barangkali ada pelintas batas ilegal atau penyelundup.
Setelah dipastikan aman, mereka kembali berjalan. Tanda perbatasan kembali ditemui, Kali ini bentuknya adalah papan pemberitahuan. Di sisi Timor Leste, ‘border sign post‘ serupa dengan warna berbeda juga ditemui. Jarak antar keduanya tak jauh, sekitar kurang dari 50 meter. Di tengah kedua tanda itu adalah zona netral kedua negara.
Bila menghadap ke utara, maka sebelah kiri adalah Motaain, Kabupaten Belu, Indonesia, dan di sebelah kanan adalah Balibo, Distrik Bobonaro, Timor Leste. Suasana di sini sedang sepi, bila diam sejenak maka akan terdengar aliran sungai. Sapi-sapi berwarna cokelat, milik warga, juga dibiarkan merumput di sini.
Kami melanjutkan perjalanan ke utara, hingga terlihatlah Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu Motaain. Dari jarak sekitar 800 meter, PLBN itu terlihat paling menonjol di antara pemandangan lainnya. Matahari tenggelam, langit berwarna oranye. Kami harus mencapai PLBN sebelum hari gelap. (sumber: Danu Damarjati – detikNews)