Ekspedisi Negara Kesatuan Republik Indonesia 2015 Koridor Bali-Nusa Tenggara yang ditutup 6 Juni lalu berhasil mengumpulkan berbagai data lapangan yang amat berharga. Ekspedisi yang berlangsung empat bulan itu amat menarik karena mewakili kepulauan dan wilayah timur Indonesia yang selama ini belum banyak dijamah.
Salah satu temuan berharga dari ekspedisi tersebut adalah ditemukannya kandungan logam tanah jarang (LTJ). Inilah potensi besar mineral dari Koridor Bali-Nusa Tenggara yang merupakan Ekspedisi NKRI kelima yang dimotori TNI dengan anggota tim ekspedisi dari Polri, mahasiswa, para ahli, pemerintah daerah, kementerian, dan sejumlah instansi negara Empat ekspedisi NKRI sebelumnya dilakukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
LTJ, seperti Praseodymium Neodymium, adalah logam-logam yang saat ini paling dicarialah satu temuan berharga dari ekspedisi tersebut adalah ditemukannya kandungan logam tanah jarang (LTJ). Inilah potensi besar mineral dari Koridor Bali-Nusa Tenggara yang merupakan Ekspedisi NKRI kelima yang dimotori TNI dengan anggota tim ekspedisi dari Polri, mahasiswa, para ahli, pemerintah daerah, kementerian, dan sejumlah instansi negara Empat ekspedisi NKRI sebelumnya dilakukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Siti Nuraisyah dari Universitas Diponegoro, saat pameran ekspedisi NKRI di Labuan Bajo, 6 Juni lalu, menunjukkan contoh batu rhodonite yang diperiksa dan mengandung Neodymium. I Gde Sukadana dari Badan Tenaga Nuklir Nasional mengatakan, logam-logam tanah jarang itu menjadi komoditas penting karena digunakan untuk peralatan seperti smart phone dan baterai. Bahan logam tersebut bisa digunakan untuk membuat barang-barang teknologi yang canggih.
Menurut data Ernest and Young 2011 tentang Technology Mineral, 48 persen cadangan LTJ dikuasai Tiongkok. Yang menarik, sejak 2012, Pemerintah Tiongkok membatasi produksi dan ekspor LTJ. Untuk melinannya. Sebaliknya, di Indonesia, eksplorasi dan eksploitasi LTJ belum diperhatikan. Padahal, diperkirakan pada 2015, kapitalisasi pasar LTJ mencapai 4-6 miliar dollar AS. Dari berbagai titik ekspedisi, ditemukan fakta bahwa batu-batu yang mengandung LTJ itu hanya dijual kiloan dengan harga murah. Warga tidak tahu kandungan sebenarnya.
“Permata” berceceran
Dari segi pariwisata, Ekspedisi NKRI ibarat memungut “permata-permata” yang berceceran di sepanjang Bali hingga NTT. Pantai-pantai sepi dengan air bening pasir halus dari putih, hitam, hingga merah muda bertaburan di mana-mana Dalam perjalanan dari Labuan Bajo hingga Pulau Komodo dengan kapal kecil, sepanjang jalan dipenuhi jajaran pulau yang dipagari pantai-pantai yang membuat napas tertahan. Labuan Bajo adalah tempat wisata yang punya karakter khusus, tetapi belum terkapitalisasi penuh.
Potensi wisata sepanjang koridor tersebut memang tak, hanya alam, tetapi juga budaya Komang Ayu, mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Amlapura, Kabupaten Karangasem, Bali, bercerita tentang kekagumannya terhadap budaya tenun ikat.
Sebagai orang Bali, ia merasa tenun ikat di Desa Tenganan sangat eksotis dan berbeda dengan karya-karya seni di Bali yang juga eksotis. Desa Tenganan di NTT punya pesona karena adat Bali-Aga, budaya praHindu yang masih sangat kuattuan beku hingga pantainya yang tersusun dari batu-batu seperti tumpukan pensil. Juga tempat eksotis lain yang menyimpan cerita rakyat nan unik, seperti desa yang menyimpan gendang dari kulit manusia, yaitu Loke Nggerang, Desa Todo, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai.
Tak heran jika Wakil Kepala Staf TNT AD Letjen TNI Munir tertarik mendengarnya dan berencana melihat gendang berkulit manusia itu. “Tempatnya jauh enggak, ya, dari sini? Saya ingin lihat,” ujarnya seusai menutup ekspedisi.
Namun, di sela-sela potensi tersebut, ada juga kisah miris yang membuat pikiran bangsa ini menerawang. Taufik Ginan-jar, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jawa Barat, bercerita tentang pengalamannya yang tak terlupakan. “Perjalanan ini membuat saya bersyukur tentang kehidupan saya,” ujar Taufik seraya bercerita tentang kehidupan sosial budaya di Pulau Sumbawa.
Taufik tak menyangka tiba di Dusun Metemega yang hanya dihubungkan dengan jembatan gantung dengan wilayah-wilayah di sekitarnya Jembatan gantung sepanjang 25 meter itu menghubungkan Metemega dengan Desa Marente, desa terbesar di Kecamatan Alas Sumbawa. Dengan melalui jalan setapak tersebut, seseorang harus menempuh waktu lima jam. “Itulah jalan yang setiap hari ditempuh anak-anak ke sekolah. Kalau musim hujan, bisa satu bulan libur karena jembatan itu terendam banjir,” kata Taufik.
Hal lain yang membuat prihatin Taufik adalah komunikasi. Jangankan sinyal telepon, listrik dengan sel surya pun hanya mampu mengalirkan listrik dua jam. Padahal, desa itu memproduksi kopi beraroma spesial. Sayangnya, kopi hanya bisa diangkut kuda yang bergantung pada cuaca “Kami gotong royong dengan warga. Ibu-ibu yang masak dan zeni yang bangun jembatan,” kata Taufik yang berharap jembatan itu jadi pada Oktober mendatang.
Potensi bencana
Temuan lain dari ekspedisi ini adalah potensi bencana akibat penggundulan hutan berdalih ekonomi. Misalnya, di Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, yang jadi langganan banjir akibat penggundulan hutan di lereng Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat Miftah dari Universitas Islam Negeri Malang bercerita, ada 7 hektar yang harus dihijaukan.
Tim ekspedisi berhasil menanam 1.300 pohon trembesi dan 30.000 anak cendana yang semakin hilang. “Salah satu misi dari ekspedisi ini adalah melindungi mata air bagi kehidupan warga agar kita tak berurai air mata di kemudian hari manakala mata air itu menjadi kering,” kata Komandan Ekspedisi NKRI 2015 Mayjen Doni Monardo. (Sumber: HU Kompas)