Maraknya penggunaan media sosial menjadi tantangan baru bagi bangsa Indonesia dalam menjaga kedaulatan. Perang pendapat di media sosial dapat memicu konflik di tengah masyarakat yang bisa berubah menjadi ancaman serius bagi Indonesia.
Berbagai komentar buruk yang sering muncul di media sosial, menurut Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, juga berpotensi merusak karakter orang Indonesia yang sopan dan menghargai orang lain.
Komentar di media sosial lebih banyak yang menjelek-jelekkan daripada yang memuji. Itu bukan kepribadian bangsa Indonesia, kata Gatot Nurmantyo di sela-sela kegiatan lomba lari dalam rangka peringatan HUT Ke-70 TNI, Minggu, 27 September 2015, di Jakarta.
Lomba lari memperebutkan trofi Panglima TNI yang diikuti lebih dari 10.000 peserta ini juga dimeriahkan dengan demo terjun payung dan dihibur oleh grup musik dari TNI.
Untuk menguasai suatu negara, menurut Gatot, kini ada yang bisa dilakukan tanpa mengeluarkan satu butir peluru pun, yaitu dengan melakukan perang proxy atau perang dengan menggunakan pihak ketiga untuk mengalahkan musuh. Ada rekayasa sosial untuk merusak kearifan lokal bangsa melalui tangan yang tak kelihatan, katanya.
Terkait dengan hal ini, Gatot berharap bangsa Indonesia tetap saling mendukung, terutama dalam menghadapi kelesuan ekonomi yang tengah terjadi. TNI tidak bisa sendirian menjaga kedaulatan bangsa, tetapi harus bersama-sama dengan rakyat. Rakyat tetap harus kritis dan memberikan solusi dengan cara yang benar, sesuai dengan aturan, ujarnya.
Adaptif
Pengajar politik dari Universitas Islam Negeri Syarlf Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto, menuturkan, perang pendapat di media Sosial memang dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat.
Kini, siapa saja dapat menyabotase informasi, termasuk milik negara hingga menyebar rumor yang mencederai kewibawaan kepala negara, katanya.
Untuk itu, Gun Gun berharap TNI dapat terus berperan menjaga kedaulatan bangsa dengan turut adaptif terhadap perubahan pola komunikasi yang terjadi melalui media sosial. TNI antara lain turut membantu meredam potensi konflik sosial yang terjadi lewat percakapan media sosial.
TNI tidak bisa lagi menjadi militer yang hanya mengandalkan ketahanan fisik, tetapi juga harus mempunyai daya lacak terhadap serangan global berbasis informasi, ujarnya
Secara terpisah, Ketua Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Arie Sudjito menuturkan, TNI juga dapat mengambil peran dengan mendeteksi konten yang beredar di media sosial yang berpotensi memicu konflik. TNI juga dapat merangkul masyarakat agar dapat menyampaikan ide dengan tujuan menjaga kedaulatan bangsa.
Masyarakat sebagai pengguna sosial harus ditempatkan sebagai sumber daya. TNI juga harus terbuka kepada rakyat sebagai penyampai informasi, katanya.
Namun, menurut Arie, media sosial juga tidak selalu berdampak negatif. Media sosial juga dapat menjadi alat pemersatu bangsa karena dapat dimanfaatkan sebagai ruang dialog.
Negara harus memanfaatkan media sosial untuk membangun dialog dengan masyarakat sekaligus menjadi kontrol publik bagi kebijakan pemerintah dan penyelenggara negara, katanya.
Media sosial, lanjut Arie, juga dapat dimanfaatkan untuk mengangkat masalah di daerah pelosok yang sering kali belum dijangkau oleh negara.
Terkait dengan hal ini, menurut Arie, negara juga perlu membangun instrumen yang lebih baik agar media sosial dapat menjadi alat untuk membangun ideologi bangsa Negara tidak perlu antipati dengan kritik yang disampaikan masyarakat melalui media sosial.
Pemerintah dapat melakukan debat publik atas kebijakan yang akan digulirkan. Ini akan membuat masyarakat merasa pendapatnya didengar, ujarnya. (Sumber: HU Kompas)