Oleh : Kolonel Inf. Drs. Mu’tamar, M.Sc
Kasubdispenmediaonline Dispenad
Membuka Renungan.
Seorang negarawan dari negeri antah berantah yang bijak pernah bertanya kepada penulis; “Apakah Anda umat beragama ‘A’ yang berada di suatu negara, atau seorang warga negara suatu negara yang beragama ‘A’ ?” Pertanyaan tersebut tentu saja dapat mengembang, dalam artian bukan sekedar pada persoalan agama, namun ke wilayah lain apapun yang dapat mewujudkan fanatisme absolut sempit pada diri seorang warga negara suatu bangsa (seperti suku, ras dan lainnya), yang pada gilirannya bisa abai terhadap kepentingan negaranya karena telah terkooptasi oleh fanatisme sempitnya itu. Negarawan tersebut selanjutnya berujar dengan nada lembut; “Sejujurnya dari jawaban atas pertanyaan itu, apabila kita mau merenung dalam-dalam, secara ‘sederhana’ akan dapat dilihat sejauhmana loyalitas, serta bagaimana seorang warga negara menyikapi dan atau memposisikan dirinya dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
Mari kita merenung lebih dalam dengan pikiran jernih, serta tanggalkan segenap kepentingan, sikap apriori dan syak wasangka, selanjutnya secara cerdas mari kita pahami, dalami dan cermati kenapa sebuah negara bisa runtuh tanpa ada invasi militer dari negara lain? Kenapa sebuah negara selalu disibukkan dengan konflik, kekerasan komunal, aksi anarkhis, terorisme, pembangkangan sosial dan sejenisnya? Sebaik apapun pemerintahan suatu negara berikut pemimpinnya, kenapa seringkali dicerca habis, dicaci maki dan dihujat seakan-akan sama sekali tidak berbuat apa-apa? Demikian halnya, dengan alasan dan mengatasnamakan ‘perjuangan’ kebebasan maupun demokrasi, terkadang berbuat di luar batas kewajaran, menghakimi si pelanggar hukum dengan semena-mena, bersikap tidak adil, menuntut kebebasan tapi menciderai hakikat demokrasi, memakai uang negara untuk kepentingan pribadi tanpa merasa bersalah sedikitpun, dan juga seringkali kita lihat adanya si pelanggar hukum terbebas dari sanksinya. Oleh karena itu, mari kita melanjutkan untuk merenung dan merenung, baru kemudian iqra (baca) secara kritis-konstruktif dan juga obyektif, sejatinya ada fenomena apakah ini dalam konteks kehidupan bernegara? Apakah sekedar euphoria yang tak kunjung reda?
Renungan Pencerahan
Mari kita merenung lagi, sebuah negara tentulah didirikan, dibangun dan ditegakkokohkan karena adanya kesepakatan bersama dari segenap warga negara yang mendiaminya. Kesepakatan tersebut bisa jadi merupakan ‘kesepakatan absolut’ kala itu dan tak terbantahkan. Dalam konteks kehidupan demokrasi (meminjam istilah para elite politik negeri antah berantah yang tengah ‘senang-senangnya’ mengajarkan kita cara berdemokrasi), sebuah kesepakatan dalam kehidupan bernegara itu tidak harus bulat, tapi bisa juga lonjong, yang penting mayoritas mendukung maka minoritas harus mengikuti suara mayoritas. Suara mayoritas seakan-akan menjadi ‘kebenaran’ pada saat itu dan mutlak adanya. Apakah hal tersebut sudah cukup menjamin bagi tegak kokohnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Bisa jadi, bagi suatu negara yang memang nilai demokrasinya disemai dan dikembangkan secara kultural seperti itu, benar adanya. Bahkan nilai-nilai demokrasi itulah yang pada gilirannya akan membangun sikap loyalitas warga negaranya kepada negara tersebut.
Akan tetapi tidak semua negara ditegakkan melalui sistem demokrasi yang seperti itu, karena memang secara kultural maupun landasan historis dan filosofis yang dimiliki sebuah negara tidaklah sama dan sebangun dengan negara lain. Oleh karena itu sangat tidak arif apabila ada pemaksaan sistem demokrasi di suatu negara untuk diterapkan dan diamalkan di negara yang lain. Pemaksaan kehendak terhadap pemberlakuan sistem demokrasi suatu negara kepada negara lain, dapat berakibat fatal terhadap melemahnya loyalitas warga negara kepada negara yang menjadi sasaran pemaksaan tersebut. Melemahnya loyalitas warga negara kepada negaranya, adalah fenomena awal akan runtuhnya sebuah negara. Contoh kongkrit adalah saat negara Uni Sovyet mengelindingkan glasnost dan perestroika, yang diikuti negara-negara di belahan Eropa Timur dan mengakibatkan banyak negara di kawasan tersebut menjadi ‘almarhum’ paska berakhirnya perang dingin tahun 1991.
Loyalitas kepada negara adalah wujud kepatuhan, ketaatan dan kesiapan warga negara untuk mengorbankan apapun kepentingannya semata-mata demi tetap tegak-kokohnya negara yang telah memberinya ruang untuk hidup. Loyalitas kepada negara merupakan ruh bagi perwujudan nasionalisme setiap warga negara. Tanpa loyalitas pada negara, tidak usah bicara soal nasionalisme, karena itu sama dengan omong kosong. Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada nation-state (negara kebangsaan). Sebelum lahir gagasan nasionalisme, kesetiaan warga negara cenderung tidak ditujukan kepada negara kebangsaan, tetapi kepada berbagai bentuk kekuasaan sosial dan organisasi politik, agama, suku maupun lainnya. Hal itulah yang mengakibatkan seringnya berkembang perpecahan, pemberontakan atau lahirnya ide separatis dari kelompok masyarakat tertentu kepada pemerintahan negara yang sah. Dalam konteks perwujudan loyalitas kepada negara hal itulah yang tabu dan tidak boleh terjadi.
Loyalitas kepada negara bukanlah sarana untuk membunuh demokrasi, kebebasan berpendapat maupun perbedaan ide/gagasan dalam rangka menyempurnakan suatu kebijakan negara. Demokrasi adalah keharusan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanpa demokrasi negara kebangsaan akan mengalami kebuntuan sebuah kreativitas ide/gagasan untuk membangun dan menegakkan nation state. Karena hilangnya demokrasi akan mengantarkan kita pada suasana otoritarian dan kediktaktoran suatu rejim. Persoalannya kemudian adalah wujud demokrasi yang bagaimanakah yang berkontribusi positif bagi tegaknya kedaulatan negara. Tentu saja, sebagaimana telah disebut di atas, tiada lain adalah wujud demokrasi yang disemai dan dibangun di atas nilai-nilai kultural, akar sejarah dan landasan filosofis masyarakat yang mendiami wilayah negara tersebut. Demokrasi yang yang memegang teguh nilai-nilai dan ajaran demokrasi yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat tersebut, bukan demokrasi untuk meluluhlantakkan hakikat kebenaran demokrasi itu sendiri.
Demokrasi, kebebasan berpendapat dan berkembangnya perbedaan ide/gagasan adalah sebuah kekayaan dan rahmat, terutama dalam rangka memberi masukan dan menyempurnakan sebuah kebijakan negara. Namun yang perlu dipahami bersama manakala sebuah kebijakan negara telah ditetapkan, maka sudah semestinya segenap warga negara taat dan tunduk terhadap kebijakan tersebut. Terlebih lagi bagi sebuah negara yang nilai-nilai demokrasinya dikembangkan atas dasar musyawarah untuk mufakat, maka kebijakan negara haruslah merupakan permufakatan bersama dari segenap warga negara untuk diamankan dan dilaksanakan secara bersama-sama pula. Justru karena itulah, jangan memaksakan nilai-nilai demokrasi yang menganut ajaran musyawarah untuk mufakat untuk menggantikannya dengan ajaran demokrasi yang menganut cara voting. Yakinilah, pemaksaan demokrasi bagi warga masyarakat suatu negara dapat mengakibatkan pertumbuhan demokrasi menjadi sakit-sakitan, menyimpang dan bahkan runtuhnya kedaulatan suatu negara kebangsaan. Melalui bangunan demokrasi yang dilandasi oleh nilai-nilai kultural maupun akar historis dan landasan filosofis masyarakat suatu bangsa tersebut, maka akan dapat diwujudkan loyalitas kepada negara secara sehat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berbicara loyalitas kepada negara, maka bila kita kembali pada pertanyaan orang bijak dari negeri antah berantah sebagaimana tertuang pada renungan pembuka tulisan ini, dengan tegas akan menjawab; “Bahwa saya adalah warga negara suatu negara yang beragama ‘A’, atau warga negara suatu negara yang bersuku ‘B’, memiliki ras ‘C’ dan seterusnya”. Pijakan utamanya adalah eksistensi dalam kebernegaraan, dan bukan label-label lain yang dapat membangun fanatisme sempit yang muaranya dapat mengabaikan kepentingan hidup berbangsa dan bernegara. Harus disadari bersama bahwa, dalam konteks kehidupan bernegara maka loyalitas kepada negara adalah sebuah keniscayaan untuk mengawal tetap tegaknya kedaulatan negara tersebut. Label-label lain sudah semestinya lebur manakala dihadapkan pada kepentingan keutuhan dan kedaulatan negaranya. Apalagi bagi negara yang secara jelas telah mengatur dan melindungi kehidupan umat beragama, suku bangsa dan selurus ras yang terdapat di dalamnya, maupun label-label lain, maka tidak ada alasan untuk tidak loyal terhadap negaranya.
Menutup Renungan
Sebelum mengakhiri, mari kita menutup renungan ini dengan merenung bersama, bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan dua mata, dua telinga, dua tangan dan hanya dengan satu mulut itu, sejatinya bukanlah sekedar faktor estetika dari skenario penciptaan semata. Sudah semestinya disikapi sebagai sebuah filosofi, bahwa kita harus lebih banyak mendengar, lebih banyak melihat, lebih banyak berkarya, dan jangan sampai lebih banyak bicara. Oleh sebab itu renungan ini agar tidak mubazir bagi kepentingan berbangsa dan bernegara, sikap loyalitas kepada negara hendaknya jangan dijadikan sebagai ‘slogan di pinggiran jalan’, melainkan wujudkan sebagai ’darma pengabdian’ bagi tetap tegak-kokohnya negara kita. Semoga!***
— Tulisan ini pernah dipublikasikan di harian Bisnis Indonesia dan Solo Post