Skip to main content
Artikel

Pantang Menyerah dan Rela Berkorban Hadapi Persaingan Global

Dibaca: 1199 Oleh 16 Okt 2017Oktober 23rd, 2017Tidak ada komentar
TNI Angkatan Darat
#TNIAD #TNIADMengabdiDanMembangunBersamaRakyat

Caption FOTO KASAD

Imunitas Bangsa (bagian-3)

Semangat pantang menyerah dan rela berkorban adalah bagian dari karakter yang melekat kuat pada Bangsa Indonesia dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Walaupun inferior dalam aspek persenjataan, namun para pejuang tak pernah surut untuk terus bertempur memperjuangkan kebebasan dan harga diri bangsa dengan hanya bermodalkan slogan merdeka atau mati. Dalam perjalanannya, Indonesia memiliki pahlawan-pahlawan dengan nama besar yang memimpin perjuangan melawan kolonialisme tanpa kenal menyerah. Salah satunya adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman yang tidak pernah mengenal kata menyerah untuk melanjutkan pertempuran bersenjata walaupun pimpinan politik lebih memilih jalan diplomasi. Beliau juga rela mengorbankan apa yang dimiliki, termasuk perhiasan istrinya, Ibu Siti Alfiah, untuk dijual dan ditukarkan dengan ayam dan beras sebagai makanan bagi prajurit yang bergerilya.

Warna perjuangan Bangsa Indonesia semakin berkembang pasca Kongres Pemuda 1928, dengan semakin intensifnya gerakan pada sayap politik dan diplomasi. Propaganda Jepang yang menyebut dirinya sebagai “saudara tua” yang datang untuk mengusir bangsa Eropa dari Asia banyak mempengaruhi kaum muda, dan mulai banyak bergabung dalam organisasi-organisasi kepemudaan seperti PETA (Pembela Tanah Air), Gyugun dan Heiho, dan melakukan perlawanan secara lebih intensif serta terorganisir terhadap tentara Sekutu.

Masa 17 tahun setelah Sumpah Pemuda 1928 sampai dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, adalah masa yang sangat penting dalam proses pematangan embrio Indonesia sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat. Disamping sayap militer yang terus melakukan perlawanan tanpa mengenal menyerah, para pemuda yang berjuang di forum diplomasi seperti Sukarno, Hatta, Syahrir dan Amir Sjarifuddin juga harus rela menjalani tekanan politik mulai dari penahanan hingga pengasingan di pulau terpencil untuk membatasi gerakannya. Namun dengan semangat pantang menyerah dan rela berkorban, hari-hari yang berat tersebut dilalui hingga akhirnya Indonesia dapat merdeka.

Baca juga:  TNI Turun ke Sawah

Walaupun karakter itu secara inheren telah menjadi antivirus yang menjaga kekebalan atau imunitas Bangsa Indonesia, namun harus jujur diakui bahwa pada hari ini, nilai-nilai tersebut semakin sulit ditemukan. Retorika yang seringkali ditolak bahwa globalisasi dan modernisasi telah melahirkan pandangan hidup seperti hedonisme, konsumerisme, dan individualisme serta gaya hidup yang instan, ternyata semakin jelas terlihat di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Inilah era dimana generasi muda lebih cenderung mengutamakan kesenangan semata, konsumtif, dan materialistis, namun tidak diimbangi dengan kemauan dan kerja keras untuk mencapainya.

Generasi milenial cenderung kurang menghargai proses, namun ingin memperoleh segala sesuatu secara cepat. Sebagai akibatnya, mereka dengan mudah mengorbankan kepentingan umum atau bahkan negara demi tercapainya apa yang diinginkan. Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang masih terus marak mewarnai jalannya birokrasi di segala bidang, merupakan bukti yang menguatkan kecenderungan itu. Fenomena ini, ibarat virus penyakit ganas, secara perlahan namun pasti menggerogoti ketahanan tubuh Bangsa Indonesia. Dalam kondisi ini, Bangsa Indonesia tidak bisa mengandalkan pihak lain untuk mengobatinya, kecuali menggali antivirus atau antibodi yang selama ini terpendam dalam tubuhnya, yaitu sifat pantang menyerah dan rela berkorban itu.

Baca juga:  Imunitas Bangsa, Pengawal Sejarah Indonesia

Sudah saatnya generasi muda Indonesia diingatkan kembali tentang sejarah perjuangan bangsa dan ditanamkan nilai-nilai yang terdapat didalamnya. Karakter pantang menyerah yang dimiliki oleh para pemuda pejuang yang dahulu mampu memerdekakan Bangsa Indonesia dari penjajahan, kini harus dimunculkan lagi agar mampu bertahan dalam persaingan global yang semakin keras. Generasi muda Indonesia harus memiliki keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif agar mampu memenangkan, atau setidaknya mampu bertahan dalam persaingan global menghadapi generasi yang gigih dengan budaya juang yang sangat tinggi seperti bangsa Jepang dan Korea Selatan.

Bonus demografi yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar kelima di dunia, harus didukung dengan intelektualitas, integritas serta semangat pantang menyerah. Selain itu juga diperlukan sikap rela berkorban yang tinggi dalam membangun negeri didasari prinsip mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Dengan sikap ini, Bangsa Indonesia akan dapat terhindar dari konflik horisontal maupun vertikal karena setiap individu bisa menahan diri tidak memaksakan kehendak pribadi maupun kelompoknya. Dan pada akhirnya, energi yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia dapat dicurahkan pada upaya membangun negara dan bangsa.

Baca juga:  Danyonarmed 12/Divif 2 Kostrad, Menemukan Senjata Tercanggih Indonesia

Hal ini tentu menjadi tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat Indonesia, khususnya para pemangku kepentingan di lembaga pemerintahan. Sistem pendidikan harus dibangun berbasiskan character building sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, untuk mencetak generasi-generasi yang berkarakter kuat dimasa depan. Sejarah perjuangan bangsa dan nilai-nilai luhurnya harus terus diajarkan di bangku sekolah agar generasi muda memahami sejarah perjuangan bangsanya dan dapat mengambil nilai-nilai luhur kepahlawanan yang terdapat didalamnya. Disamping itu, lingkungan sosial dan lingkungan kerja juga harus dibenahi secara komprehensif agar lebih friendly terhadap pembangunan karakter bangsa seperti memperbanyak kompetisi untuk generasi muda agar tahu arti pentingnya perjuangan dalam mencapai suatu kemenangan, serta mengikis budaya klasik KKN, karena memudahkan orang untuk mencapai keinginannya tanpa kerja keras.

Dasar dari itu semua, pendidikan non formal di dalam lingkungan keluarga adalah kunci dari terbentuk dan terbangunnya karakter generasi muda yang kuat. Melalui keteladanan dalam hidup sehari-hari, orang tua berperan penting untuk meletakkan pondasi yang kokoh kuat bagi bangunan karakter anak-anak yang akan dibawa hingga masa dewasa kelak. Orang tua harus lebih banyak mengajari anak-anaknya cara membuat kail dan kemudian menggunakannya untuk memancing ikan dibandingkan dengan memberikan ikan untuk anak-anaknya, agar memiliki karakter pekerja keras yang tidak hanya mengharapkan segala sesuatu secara instan.

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel