Di Paniai, menjelang Natal 2014, empat nyawa warga melayang karena ditembak. Belum lagi ditemukan pelaku penembakan itu, pada awal 2015 kembali terjadi penembakan di Deyai, dekat Paniai. Kali ini, seorang polisi korbannya.
Siklus kekerasan yang tak kunjung usai di Papua bermula dari aksi kelompok-kelompok bersenjata yang menyerang atau menghadang secara mendadak anggota TNI atau polisi. Merebut senjata adalah tujuan penyerangan-penyerangan ini. Menurut data Polda Papua, pada 2014 saja ada 20 pucuk senjata polisi yang berhasil direbut oleh kelompok-kelompok bersenjata di berbagai lokasi.
Ketika pengejaran dilakukan terhadap kelompok-kelompok itu, warga kerap mendapat perlakuan yang kurang enak, bahkan cenderung kasar. Muncullah aksi balasan yang dilancarkan secara acak dan vigilante oleh oknum kelompok bersenjatapolisi dan TNI sering menyebutnya unsur TPN/OPMdengan menyergap anggota TNI atau polisi yang lengah.
Dari aksi-aksi kekerasan itu, ketika korbannya warga biasa, maka opini mengenai pelanggaran HAM segera pula berkembang. Pemerintah dan aktor keamanan langsung menjadi pihak tertuduh. Perhatian dunia pada Papua itu pada gilirannya membuat aktor-aktor keamanan di Papua dan pemerintah jengah serta marah. Sepanjang 2012-2014 terjadi lebih dari 40 kasus kekerasan bersenjata dengan hampir lebih dari 50 orang korban jiwa di Papua, baik aparat maupun warga.
Sepertinya perlu evaluasi mendalam tentang kinerja aktor-aktor keamanan di Papua. Ketika Presiden menetapkan pendekatan kesejahteraan terhadap Papua, diperlukan doktrin baru pertahanan dan keamanan dalam kerangka pendekatan kesejahteraan itu. Jika Kodam baru dibentuk, menurut saya doktrin baru belum ada. Kalau cara memandang, menganalisis, dan bertindak dalam menghadapi aktor-aktor politik dan kelompok bersenjata di Papua juga tidak ada yang baru, siklus kekerasan pun akan selalu terjadi.
Evaluasi juga diperlukan di tataran operasi. Pangdam dan Kapolda menyampaikan bahwa kekuatan-kekuatan personel dan persenjataan serta pimpinan kelompok bersenjata di Papua telah dikenali. Namun, tahun berganti tahun, kelompok itu bukannya susut, melainkan justru menguat dengan persenjataan yang kian baik. Artinya, dalam tataran operasi, seperti terjadi keragu-raguan dalam bertindak di satu sisi, di lain sisi seakan tak berdaya. Ini akan menihilkan capaian-capaian positif pemerintah di Papua, dan menaikkan moril kelompok perlawanan bersenjata.
Evaluasi juga perlu di tataran komando dan pengendalian. Diperlukan keterpaduan komando dan pengendalian dalam menangani gangguan bersenjata di Papua. Mengingat Papua dalam kondisi tertib sipil, komando dan pengendali pengamanan Papua haruslah Polri. TNI dan unsur intelijen lainnya berperan membantu ketika dibutuhkan. Kejelasan komando dan pengendalian ini akan meminimalkan aktor yang main sendiri-sendiri. Jika ada anggota Polri atau TNI yang bersalah kepada warga, penegakan hukum juga dilakukan seterbuka mungkin. Untuk ini, Polri, TNI, dan BIN harus duduk bersama.
Berlanjutnya kekerasan bersenjata di Papua adalah residu dari permasalahan politik yang belum tuntas. Mengevaluasi kinerja aktor-aktor keamanan adalah satu langkah untuk meminimalkan kekerasan, langkah yang lain adalah dibutuhkan kejelasan kebijakan politik yang baru dari Presiden Jokowi dalam menghadapi dinamika politik Papua. Semoga. AMIRUDDIN AL-RAHABANALIS SOSIAL-POLITIK PAPUA (Sumber: Koran Tempo).