
Tekad Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dalam menjalankan program bela negara tampaknya sudah bulat. Di tengah pro kontra yang ada, kementerian yang dipimpin Ryamizard Ryacudu itu tetap melanjutkan program tersebut. Bela negara yang akan melibatkan puluhan juta penduduk itu dianggap akan menciptakan deterrence effect.
Ini memberikan daya gentar negara lain, kata Menteri Pertahanan Ryamizard saat meresmikan pendidikan instruktur bela negara di kantor Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Kemenhan kemarin, tanggal 22 Oktober 2015. Menurut dia, itu akan membuat negara lain berpikir jika ingin mengganggu keutuhan dan kedaulatan Indonesia.
Ryamizard mengakui, program bela negara menjadi bagian dari strategi asimetris dalam pertahanan negara. Sebab, potensi kekuatan pertahanan Indonesia akan sulit diprediksi. Intelijen mereka akan bingung untuk mencari celah, kata mantan kepala staf Angkatan Darat (KSAD) tersebut.
Hal tersebut, menurut dia, berbeda dengan strategi pertahanan dengan penguatan alutsista (alat utama sistem persenjataan). Sebab, alutsista merupakan hal yang terukur sehingga celahnya mudah dikalkulasi untuk mengantisipasi.
Meski demikian, Ryamizard membantah program bela negara terkesan sangat militeristis. Dia menegaskan, persoalan pertahanan secara fisik ada di tangan TNI sebagai komponen utama pertahanan. Sebaliknya, bela negara, lanjut dia, lebih menekankan pada pertahanan secara ideologis. Sebab, dia memprediksi konteks peperangan yang dihadapi Indonesia ke depan bukan tembak-menembak. Tapi, mengubah pemikiran atau yang kita sebut cuci otak, terangnya.
Terkait dengan pernyataan berbagai kalangan yang meminta Kemenhan menelurkan undang-undang tentang bela negara, purnawirawan TNI AD itu menegaskan tidak perlu. Dia mencontohkan program kepanduan Pramuka yang juga tidak memiliki undang-undang. (Sumber: HU Jawa Pos)