
Untuk menangkal paham radikal perlu diperkuat pendidikan bela negara di masyarakat. Jika pemahaman bela negara sudah baik, tak ada lagi warga tertarik bergabung dengan ISIS.
Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menegaskan bela negara ampuh untuk menangkal paham radikalisme. Tidak akan ada yang tertarik lagi menjadi simpatisan Islamic State Iraq and Syria/lSIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) kalau pemahaman bela negaranya sudah baik. Bela negara ini ampuh untuk menangkal paham radikalisme. Ini tugas kita bersama, kata Menhan saat menutup pendidikan kilat bela negara dari Kementerian Pertahanan, di Kampus Universitas Pertahanan, Sentul, Jawa Barat, Rabu, tanggal 18 November 2015.
Sebanyak 180 kader inti angkatan perdana menyelesaikan pendidihan kilat bela negara selama sebulan. Nanti, ke 180 orang kader inti itu akan menjadi pelatih-pelatih program bela negara. Penutupan kursus ditandai dengan upacara dan peragaan beberapa hal yang selama sebulan mereka pelajari bersama, di antaranya bongkar-pasang senjata api dan cara memberikan instruksi dengan simulasi penanganan korban bencana alam.
Mereka berasal dari berbagai profesi, dengan penekanan pada penguatan jiwa cinta Tanah Air. Kalau sudah cinta, pasti mau membela negaranya dengan sekuat tenaga, dengan berbagai caranya, kata Ryacudu.
Tingkatkan Pengamanan
Kapolda Jawa Timur (Jatim) Irjen Pol Anton Setiadji mengatakan Polda Jatim meningkatkan pengamanan pada sejumlah kantor perwakilan negara sahabat yang berada di Surabaya. Pengetatan pada beberapa konsulat jenderal asing dan objek-objek vital dilakukan terkait tindak terorisme yang terjadi Paris, Prancis baru-baru ini.
Peningkatan pengamanan dilakukan dengan menambah personel di setiap kantor konsulat yang ada. Antisipasi juga dilakukan dengan pemeriksaan lebih teliti pada setiap tamu yang datang, kata Anton. Anton menambahkan pihaknya tidak ingin kecolongan meski sejauh ini wilayah Jatim masih dalam keadaan aman dan kondusif. Kami selalu waspada dan siaga, tak hanya obvit (objek vital) kantor perwakilan asing, keseluruhan wilayah juga diperketat. Sudah diinstruksikan pada Kasat Brimob dan masing-masing Kasatwil untuk mengantisipasi potensi gerakan esktremis, yang bisa menimbulkan distabilitas keamanan wilayah, kata Anton.
Sebelumnya Menhan mengingatkan tragedi Paris merupakan refleksi bahwa keberadaan ancaman sangat nyata di depan mata dan selalu menghantui. Salah satu cara efektif dalam memerangi perang asimetris seperti yang terjadi di Prancis adalah dengan cara menerapkan sistem pertahanan rakyat semesta yang berbasis kekuatan rakyat. Sebagai negara yang bukan agresor atau yang tak menyerang negara lain, Indonesia harus memiliki pertahanan yang berbasis rakyat banyak. Apalagi Indonesia berada di kawasan yang strategis. Negara-negara lain banyak yang mengintai kekayaan Indonesia. Banyak yang ingin adu domba kita dengan sejumlah konflik SARA, atau keinginan segelintir orang yang ingin memisahkan provinsi dari Indonesia. Ini harus kita perangi, kata mantan kepala staf TNI Angkatan Darat ini.
Oleh karena itu, Menhan ingin masyarakat tak mudah dipengaruhi atau diprovokasi. Tujuan bela negara adalah untuk membentuk wawasan kebangsaan yang kuat bagi masyarakat dan agar tak mudah tercerai-berai. Ancaman yang paling nyata saat ini bukan perang terbuka, tapi perang asimetris. Perang asimetris yang dimaksud adalah pemberontakan bersenjata, ancaman teror, serangan cyber, hingga serangan intelijen.
Pengamat militer dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, berpendapat Indonesia harus segera merampungkan strategi pertahanan nonmiliter untuk mengantisipasi ancaman di luar ancaman militer, seperti terorisme. Bahkan, bencana asap yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan belakangan ini bisa dikategorikan sebagai ancaman nonmiliter.
Ancaman seperti perang hibrida, perang Cyber, terorisme, selalu datang setiap waktu. Tercatat, ada 40 ribu serangan cyber setiap harinya ke Indonesia. Negara ini lebih siap menghadapi perang terbuka. Untuk sesuatu yang bisa terjadi setiap saat, kita malah tak rapi mempersiapkannya. Kita tak punya cara menghadapi ancaman yang riil. Kita tak punya perangkatnya.Ini ironis, papar Andi. (Sumber: HU Koran Jakarta)