RILIS.ID, Jakarta– Kementerian Pertanian (Kementan) menampik adanya kegagalan program cetak sawah di Desa Pengabuan, Kecamatan Panukal Utara, Kabupaten PALI, Sumatera Selatan, seluas 1.030 hektare pada 2016 silam.
“Beberapa pemberitaan tidak sepenuhnya berdasarkan fakta yang ada,” tegas Sekretaris Jenderal Kementan, Hari Priyono, di kantornya, Jakarta, Senin (4/9/2017). Pemberitaan tersebut dimuat pada Majalah Tempo edisi 4-9 September 2017.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Pending Dadih Permana menambahkan, lahan tersebut sempat dua kali panen pada Desember 2016-Januari 2017, meski sempat dilanda banjir.
“Desember 2016 di Pengabuan panen, Januari panen, sebagian (lahan, red) kena banjir, termasuk lokasi. Artinya, sudah dua kali tanam, bukan berarti tidak pernah tanam,” ungkapnya pada kesempatan sama.
Pending menambahkan, kondisi lahan tersebut saat ini juga sudah ditanami padi kembali, sebagaimana hasil tinjauan langsung Kementan bersama Kodam II/Sriwijaya, 17 Agustus kemarin.
Peraih Satyalencana Karya Satya XX itu menerangkan, lahan pertanian baru melalui cetak sawah tak mungkin produktivitasnya mencapai puluhan ton/ha, sebagaimana pada umumnya.
“Produksi pertama di PALI cuma 3,2 ton/ha. Panen kedua, kalau enggak kena banjir, sekitar 5 ton. Tapi, mungkin kena banjir, sehingga 2-3 ton,” bebernya.
Kata Hari, butuh waktu sekitar tiga tahun, agar produktivitas lahan hasil cetak sawah normal. Dia kemudian mencontohkan dengan pembuatan sebuah kolam.
“Kalau bikin kolam, tiap hari diiisi air, rembes terus. Jadi, jangan berpikir konstruksi selesai, lalu jadi sawah kayak di Jawa,” katanya mengingatkan.
Karenanya, Kementan dan TNI Angkatan Darat (AD) yang bertugas mengawal kegiatan cetak sawah, bagian dari Program Upaya Khusus (Upsus), tak berhenti ketika telah selesai menciptakan lahan pertanian baru.
Contohnya, Kementan memberikan bantuan sarana produksi berupa benih dan pupuk selama tiga tahun, memberikan pembinaan dan pemanafaatan, ketika lahan sudah jadi dan langsung digunakan para petani.
“Semua ini dilakukan untuk menjaga keberlanjutannya,” tegas Pending.
Dasar Hukum
Pending mengungkapkan, kegiatan cetak sawah dilakukan berdasarkan serangkaian peraturan perundang-undangan yang jelas, mengingat posisinya cukup strategis dalam menjaga ketahanan nasional dan sesuai Nawacita pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, khususnya di sektor pangan dan pertanian.
Adapun alas hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2011 tentangan Pengamanan Produksi Beras Nasional dalam Menghadapi Iklim Ekstrem.
Kemudian, Nota Kesepahaman Menteri Pertanian-Kepala Staf TNI AD Nomor 1/MoU/RC.120/M/1/2015 dan Nomor 1/1/2015, kerja sama Dirjen PSP Kementan dengan Aster KSAD, Nota Kesepahaman Dirut PT Pertani, Dirut PT Sang Hyang Sri, Dirut PT Pupuk Indonesia, dan Kepala Dinas Pertanian Provinsi se-Indonesia.
Sekadar diketahui, kerja sama dan nota kesepahaman tersebut dilakukan sebagai jawaban atas hasil evaluasi terkait kebijakan cetak sawah saat pertama kali dimulai pada 2012.
Kala itu, kemitraan antara Kementan dengan TNI dikemas dalam bentuk Tentara Mendukung Ketahanan Pangan (TMKP) dan ‘diikat’ melalui Nota Kesepahaman Nomor 3/MoU/PP.310/M/4/2012 dan diperbarui melalui Nota Kesepahaman Nomor 10/MoU/RC.120/M/12/2016.
Saat kali pertama digulirkan, kegiatan cetak sawah dilakukan dengan pola bantuan sosial (bansos). Anggarannya pun langsung ditransfer kepada gabungan kelompok petani (gapoktan) penerima. Selanjutnya, oleh penerima dikerjakan langsung atau melibatkan pihak ketiga.
Karena hasilnya tidak maksimal dan tak siginifikan berdasarkan hasil evaluasi, lantaran dilakukan tanpa berdasarkan identifikasi dan usulan masing-masing daerah terkait potensi lahan yang memungkinkan, maka dilakukan perbaikan pola pelaksanaan dan kerja sama.
Prosedur Ketat
Lulusan Universitas Mataram (Unram) Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menyatakan, tidak mudah untuk menjalankan kebijakan cetak sawah yang bertujuan meningkatkan kapasitas petani dalam rangka mengembangkan pertanian.
Sebelum memulai kegiatan, suatu lahan yang ingin menjalankan cetak sawah harus berpedoman pada Survei, Investigasi, dan Desain (SID). Rangkaian survei meliputi kesesuaian lahan, ketersediaan air, lokasi clear and clear atau tidak berada di kawasan hutan dan bukan milik orang lain, serta aksesnya cukup.
“Dan nantinya, bagian dari aksesibilitas dengan petani untuk akses sarana prasarana (sapras) dan pasar dari hasil komoditas,” urainya.
Lalu, di lokasi juga harus dipastikan ada sumber daya manusia (SDM) yang bakal menggarap lahan tersebut nantinya.
Jika seluruh rangkaian syarat itu telah dipenuhi, maka selanjutnya dilakukan investigasi untuk pendetailan oleh tim teknis, termasuk desainnya.
“Pada saat SID berbeda dengan di lapangan, dilakukan review oleh tim teknis dan pihak Zeni belum lakukan cetak sawah,” ujarnya.
“Sehingga, tidak serta-merta tahun ini diajukan dan tahun ini pula dikerjakan,” lanjut Pending. Adapun pihak yang bertanggung jawab menyiapkan SID ialah dinas daerah yang berencana melakukan cetak sawah.
Ketatnya prosedur untuk mengerjakan cetak sawah tersebut berdampak pada realisasi kegiatan di tahun 2017. Soalnya, semenjak Januari-April, Kementan melakukan evaluasi dahulu dan baru pada Mei silam, memulainya kembali.
Pending menambahkan, mekanisme yang diterapkan pada kebijakan cetak sawah sekarang adalah dengan pola swakelola yang melibatkan petani dan dibantu TNI dan Dinas Pertanian setempat. Artinya, bukan kontraktual.
Anggarannya, merupakan tugas pembantuan yang didaerahkan/didelegasikan pelaksanaannya kepada Dinas Pertanian Kabupaten dan Provinsi alias dekonsentralisasi.
Hasilnya pun menggembirakan dengan perubahan sistem kegiatan, sebagaimana realisasinya. Pada 2015 yang dimulai September, berhasil menambah luas tanam 20.070 ha atau 87,26 persen dari target.
Selanjutnya, melonjak signifikan pada 2016 dengan realisasi 129.076 ha (97,67 persen). Sedangkan di tahun 2017 menargetkan 80 ribu ha.
“Hasil keseluruhan dari program Upsus, termasuk cetak sawah adalah produksi padi naik 79,1 juta ton pada tahun 2016 naik 11,7 persen selama dua tahun terakhir (2014-2016, red),” bebernya.
Pengawasan Penuh
Sementara, Inspektorat Jenderal Kementan, Justan Riduan Siahaan, menerangkan, sebelum ada kebijakan yang dijalankan, pihaknya selalu melakukan uji akuntabilitas dan di-review.
“Selain dilakukan dengan benar, kami juga membangun sistem pengendalian internal,” jelasnya.
Tak sebatas itu, Itjen juga selalu membuka telinga lebar-lebar terhadap masukan, saran, dan kritik publik terhadap kerja-kerja Kementan.
“Kalau ada yang melapor dan bermasalah, kami turun langsung ke lapangan,” ucapnya. Ketika ke lapangan, Itjen pun melakukan survei ke petani langsung.
Itjen pun selalu melibatkan instansi lain, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hasilnya, ungkap Justan, “Kita Wajar Tanpa Pengecualian (dari BPK).”
Kata Justan, memang ada sedikit masalah pada kegiatan cetak sawah. Namun, tidak berarti tidak dimanfaatkan. Sebab, berdasarkan hasil investigasi di lapangan, ditemukan ada bekas-bekas tanam padi di lokasi.
“Cuma karena pada waktu itu masih kering, sehingga tidak bisa ditanami,” bebernya.
Oknum Kementan
Alumni STAN Jakarta ini menambahkan, Muhammad Said yang disebut-sebut bermain proyek cetak sawah dengan menjanjikan sesuatu kepada sejumlah pengusaha, bukanlah Tenaga Ahli Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman.
“Tidak ada Tenaga Ahli Mentan yang bernama Muhammad Said. Namun, ada staf Kementan dengan nama Muhammad Said telah dipecat dari Kementan,” tegasnya.
Dia dipecat, lantaran pelanggaran disiplin pegawai dan diduga melakukan penipuan. “Kebijakan Menteri Pertanian sangat tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oknum jajaran Kementerian Pertanian,” tutup Justan.
Sumber : rilis.id
Penulis Fatah H Sidik
Editor Sukarjito