BANGGALAH Indonesia punya tentara yang kuat untuk menjaga negeri dan bangsa yang besar ini. Negeri ini terjaga keamanannya. Semua gangguan bisa diatasi.
Hanya saja yang perlu dimaklumi, anak bangsa ini secara umum belum sejahtera. Kemiskinan dengan beragam problemanya masih butuh penanganan maksimal.
Miskin dan menderitanya anak bangsa ini bukan kesalahan siapa-siapa. Tapi, kita harus koreksi diri bahwa kemiskinan itu punya kaitan erat dengan belum maksimalnya upaya memanfaatkan anugerah yang diberikan Allah SWT. Kita punya tanah pertanian yang luas tapi belum diolah maksimal. Kita punya kolam ikan yang banyak namun banyak yang terlantar.
Kita bisa saja turun ke sawah lima kali panen dalam dua tahun. Nyatanya, hal itu belum jadi kenyataan. Kita punya kolam ikan yang bisa panen 2-3 kali setahun, nyatanya jangankan dua kali, satu kali pun tidak banyak yang jadi kenyataan.
Memprihatinkan sebenarnya rata-rata kehidupan petani kita di banyak kampung, desa, dan nagari. Kehidupan petani sawah dari tahun ke tahun tetap saja ‘tidak lepas lenggang dari ketiak’. Tradisi kerja mengolah sawah dari tahun ke tahun tidak pernah diubah.
Tidak perlu alam disalahkan. Jangan dituduh tanah tidak subur. Jangan dituding cuaca tidak bersahabat. Semuanya punya kaitan dengan tradisi yang tidak berubah juga. Kita terlena. Dulu, jumlah keluarga sedikit. Sekarang, jangan disebut lagi, sudah banyak rumah penuh sesak.
Keluarga banyak sawah tidak pula luas. Mirisnya, untuk turun ke sawah punya ‘tradisi’ tersendiri, habis persiapan dulu, baru sawah diolah lagi. Beras habis, lumbung kosong, sawah baru ditanami, tentu pikiran jadi bercabang. Memprihatinkan memang.
Sudah bertahun-tahun tradisi turun ke sawah tidak maksimal. Bahkan, areal persawahan subur cenderung terlantar. Tidak diolah. Dibiarkan semak belukar merajalela.
Jangan biarkan petani terus melarat. Rezekinya dapat pagi, habis siang. Anak jadi terlantar. Dana perkuliahan tidak mencukupi. Meski keringat mengucur deras, tapi hasilnya hanya cukup untuk makan dari waktu ke waktu saja. Tidak mampu membeli banyak keperluan.
Cara demikian harus diubah. Kerja petani harus direformasi. Yang lama harus dibuang. Siapa tidak arif, ketinggalan dan akan tetap miskin dari waktu ke waktu.
Kini, TNI siap membimbing. Mereka hidup bersama petani. Bukan sifatnya administrasi, bukan sifatnya perintah atau surat jalan. Bersama, TNI masuk sawah. Mendukung petani agar maksimal bekerja mengolah lahannya.
Percayalah, bersama TNI kita sejahtera. Sudah dibuktikan, TNI masuk sawah, berlunau, basah kuyup, namun hasilnya lumayan. Petani pun sangat bangga dibimbing TNI. Petani patuh dengan irama langkah TNI di pematang sawah. Di mana ada TNI turun ke sawah, di sana padi menjadi, jaguang maupiah’.
Di saat negeri kita aman dari gangguan, sangat pantas TNI dilibatkan maksimal membimbing petani. Semuanya punya tujuan: ‘kesejahteraan’. Jangan ada lagi negara ini mengimpor beras. Jangan ada lagi negara ini mengimpor bawang, cabai, daging, gula, garam, dan kebutuhan harian lainnya.
Celaka rasanya kalau kebutuhan harian rakyat di negeri ini didatangkan juga dari luar negeri. Untuk itu, olahlah alam ini secara maksimal.
Mari kita sukseskan TNI membimbing petani. Kita bebaskan petani dari kemiskinan. Kita bebaskan petani dari ketidakberdayaan. Kita support TNI membimbing petani. Mari seayun selangkah kita dukung TNI bersama petani. Jangan ada pula yang tidak setuju jika TNI seayun selangkah dengan petani.
Kedisplinan TNI diharapkan berpindah kepada petani untuk kesejahteraan petani itu sendiri. Jangan ada pula yang tidak setuju ‘petani sejahtera’.
Kita sukseskan edaran Gubernur Sumbar tentang perlunya TNI membimbing petani.‘Padi manjadi, jaguang maupiah, taranak bakambang biak’, pertanda petani sejahtera. Semoga.(sumber: http://www.kompasiana.com/adibermasa/sumbar-programkan-tni-bimbing-petani-untuk-capai-hidup-sejahtera_58d105c14ef9fd367951acb2)