Skip to main content
Berita Satuan

Tuntutan Pembersihan Dosa-dosa PKI, Mungkinkah?

Dibaca: 327 Oleh 27 Agu 2015Tidak ada komentar
TNI Angkatan Darat
#TNIAD #TNIADMengabdiDanMembangunBersamaRakyat

GERAKAN 30 September PKI 1965 atau lebih dikenal dengan istilah G30S/PKI mempunyai latar historis yang cukup panjang, karena perjuangan komunis Indonesia sejatinya sudah dimulai sejak penjajahan Belanda. Komunis di Indonesia lahir dengan menumpang kehadiran organisasi Islam terbesar di Indonesia saat era perjuangan merebut kemerdekaan, yaitu Syarikat Islam (SI) yang dibentuk tahun 1912. Dalam perkembangannya, Syarikat Islam pecah menjadi 2 (dua) sayap kanan tetap berideologi Islam, dan sayap kiri yang berhaluan komunis dengan tokoh Semaun dan Darsono. Seperti yang tertuang dalam buku Bung Hatta Menjawab disebutkan bahwa; Dari gagasan-gagasan sosial demokrasi berangsur-angsur berubah menjadi demokrasi sosial yang radikal. Semaun dan Darsono selalu merupakan sayap oposisi dalam Syarikat Islam.

Pada tahun 1917 sesungguhnya sudah lahir PKI meski masih secara diam-diam, yang masih menjadi fraksi kiri SI (SI Merah). SI yang pada saat itu kurang memperhatikan nasib buruh dijadikan peluang bagi ide-ide radikal PH. Pada tahun 1921, SI Putih berubah nama menjadi Partai Syarikat Islam, dan seterusnya SI Merah barulah resmi menamakan dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia).

Mencermati sejarah panjang pergolakan bangsa Indonesia, paling tidak PKI telah melakukan tiga kali pemberontakan terhadap pemerintahan yang tengah berkuasa saat itu. Pemberontakan pertama adalah tahun 1926 pada masa kolonial Belanda. Pada 1948 PKI melancarkan pemberontakan kedua namun kembali gagal. Literatur mencatat pemberontakan ketiga dilakukan pada 1965, lagi-lagi gagal.

Pemberontakan PKI yang ketiga dilakukan pada saat perekonomian negara tengah mengalami krisis yang sangat hebat. Keadaan ekonomi saat itu mengalami stagflasi (stagnasi dan inflasi). Pada bulan Agustus 1965 Presiden Soekarno menarik Indonesia dari hubungan-hubungan yang masih tersisa dengan negara kapitalis. Saat itu struktur sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia hampir runtuh. Inflasi sangat tinggi membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.

Demikianlah, salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain. Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada PKI meluntur/menurun. Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat terhadap percobaan kudeta PKI yang ketiga (pada 30 September 1965), yang berakibat adanya gerakan anti PKI dan umbul pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya. Terlebih lagi selama Masa Orde Lama, terindikasi cukup serius kekejaman PKI terhadap warga masyarakat, terutama terhadap kalangan santri yang secara tegas menentang ideologi PKI.

Baca juga:  Panglima TNI: "Pemuda Harus Menjadi Tulang Punggung Bangsa"

Pembubaran PKI

Dari latar sejarah tersebutlah, akhirnya rakyat Indonesia saat itu merasa sudah jengah dan timbulah kesatuan-kesatuan aksi yang dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, yang tergabung dalam front Pancasila yang berujung lahirnya tiga tuntutan rakyat atau lebih dikenal dengan istilah TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat).  Salah satu tuntutannya adalah membubarkan PKI. Dari situlah rentetan sejarah bergulir sampai dengan lahirnya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang menetapkan pembubaran PKI.

Sungguh  sangat jelas bahwa dari mulai lahirnya PKI sampai dengan keluarnya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sejarah telah mencatat bagaimana PKI telah beberapa kali berusaha mencoba mengganti ideologi bangsa ini dengan paham komunis yang nyata-nyata pada saat itu, telah membawa bangsa Indonesia ke dalam keterpurukan ekonomi yang sangat dalam. Yang terjadi adalah mekanisme logis dimana rakyat sudah tidak lagi percaya atas ajaran-ajaran paham komunis yang di bangga-banggakan oleh PKI, hingga dengan sendirinya kepercayaan rakyat meluntur dan menuntut pembubaran partai PKI yang nota bene pada Pemilu tahun 1955, menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante. Namun fakta sejarah tidak bisa dipungkiri bahwa paham komunisme yang diusung partai ke empat terbesar Pemilu 1955 telah gagal membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, dan pada akhirnya rakyat sendirilah yang terbangun dan tersadar untuk menuntut pembubaran PKI.

Dewasa ini, terutama sejak bergulirnya reformasi nasional, terdapat indikasi ada upaya-upaya secara sistematis untuk mengotak-kotakan sejarah dan hendak melupakan sejarah, mengungkit sejarah secara parsial dan mengeksposnya seolah menjadi isu nasional bahkan internasional. Masyrakat dipaksa untuk melihat sejarah secara fragmented sehingga hanya fokus pada satu kotak sejarah, dibuat untuk tidak melihat bahkan melupakan rangkaian sejarah secara utuh. Salah, satu frame sejarah yang saat ini oleh sekelompok orang sedang dicoba diangkat menjadi isu nasional, bahkan internasional adalah adanya dugaan telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam penyelesaian terhadap kasus-kasus yang ada kaitannya dengan pembubaran PKI di masa lalu. Mengangkat isu ini memang tidak ada salahnya tapi alangkah baiknya kita tidak terjebak dan tersekat hanya pada satu frame sejarah di mana diduga terjadi pelanggaran HAM berat. Namun hendaknya kita perlu berpikir jernih, cerdas dan arif apabila ingin mengungkap berbagai peristiwa di masa lalu, bisa melihatnya secara utuh sebagai suatu rangkaian sejarah yang secara garis besarnya sudah diuraikan di atas.

Baca juga:  Lanjutkan Kunjungan Kerja, Pangdam XVII/Cenderawasih Sambangi Beberapa Satuan

Dugaan Pelanggaran HAM Berat

Hingga saat ini, tuntutan penyelesaian dugaan terhadap kasus HAM berat masih terus digulirkan oleh sekelompok orang dengan berbagai motivasi dan kepentingan. Bahkan dewasa ini berkembang isu  yang bertendensi tidak sejalan dengan fakta sejarah yang ada dan terkesan berusaha untuk membersihkan kelompok PKI dari dosa-dosa sejarah dalam usahanya melakukan kudeta/penggulingan kekuasaan yang sah. Yang lebih tragis, adanya penggiringan opini agar pemerintah meminta maaf kepada korban paska pembubaran PKI. Pada saat yang bersamaan juga dibangun opini bahwa tragedi nasional tahun 30 September 1965 adalah konflik internal dalam tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kala itu, usaha kudeta/pemberontakan dalam tubuh militer Indonesia, dan lain sebagainya. Sebuah tragika kebemegaraan yang sangat mengerikan, bila upaya pemutarbalikan fakta tersebut akhirnya dapat terpenuhi.

Kita sadar, bahwa komunisme sebagai ideologi tidak pernah mati, meskipun negara-negara komunis sudah banyak yang menjadi almarhum (seperti Uni Sovyet, Chekoslovakia, Yugoslavia maupun lainnya). Perlu diingat, bahwa sebagai bentuk negara komunis bisa hancur dan sudah menjadi almarhum, namun sebagai ideologi komunisme akan tetap hidup dan eksist sepanjang peradaban sejarah umat manusia dengan selalu bermetamorfosa sesuai kepentingan jaman. Pada hakekatnya fakta ini adalah sangat logis dan diaplikasikan tidak hanya oleh ideologi komunis, namun oleh semua ajaran atau ideologi lain yang manapun. Fakta ini tidak bisa kita klaim secara natural milik dari suatu ideologi. Fakta lain bahwa setiap ideologi dapat berkembang dan beradaptasi dengan perkembangan jaman menyesuaikan dengan tuntutannya sebagai contoh liberal dengan neo liberalnya, tidak terkecuali paham komunis. Oleh karena itu lata juga harus tetap bersikap cerdas dan waspada terhadap munculnya paham neo-komunisme dengan berbagai bentuk trasnformasinya

Paham neo-komunisme yang selalu mengusung isu-isu sosial yang sangat populer di kalangan menengah ke bawah, membuat paham ini seolah-olah merefleksikan dirinya sangat pro rakyat kecil, menjadikannya sangat penetrable ditambah lagi dengan kurangnya pemahaman terhadap fakta sejarah yang lalu. Menghadapi realitas sosial ini, maka perlu kita sadari mengapa paham ini begitu mudahnya terserap oleh komunitas sosial menengah ke bawah yang secara statistik jumlahnya lebih banyak dari kaum sejahtera.  Ajaran ini selalu berusaha memberikan refleksi keadilan yang semu kepada kaum miskin dan tertindas di mana kaum miskin secara demografi selalu mendominasi negara-negara berkembang.

Baca juga:  Panglima TNI: TNI Bertanggung Jawab Lestarikan Keragaman Budaya Nusantara

Sehubungan dengan itu, sebagai anak bangsa kita harus sama-sama bisa berpikir jernih, bahwa ideologi Pancasila juga adalah ideologi yang mampu berkembang, dan beradaptasi dengan perubahan dan tuntutan jaman. Segenap bangsa Indonesia juga harus bisa bahu-membahu untuk dapat menjadikan Ideologi Pancasila sebagai ideologi yang mampu memberikan refleksi keadilan dan kesejahteraan bagi segenap warga negara Indonesia. Terlalu mengagungkan dan mengultuskan suatu Ideologi, merasa menjadi ideologi yang paling sempurna membuat kita menjadi tidak peka dan lambat dalam merespon perubahan yang merupakan suatu keniscayaan. Pada hakekatnya Pancasila adalah ideologi yang paling tepat dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia yang majemuk dan beraneka ragam corak budayanya, karenanya perlu kita bangun secara terus-menerus sesuai tuntutan jaman.

Penutup

Jangan melihat sejarah secara terkotak-kotak karena akan membuat kita terjebak pada satu kotak sejarah, sehingga lupa akan sejarah itu yang sesungguhnya dalam konteks sejarah yang utuh. Dengan demikian, pemikiran kita menjadi mudah dibelokkan dan melihat sesuatunya, secara parsial. Dalam penyelesaian permasalahan masa lalu sebenarnya banyak pola yang bisa diterapkan yang sudah terbukti di berbagai negara yang notabenenya menjunjung tinggi HAM, namun mampu untuk tidak selalu melihat ke belakang dan menatap jauh ke depan. Ini bukan berarti penuntasan kasus pelanggaran HAM yang menjadi tanggung jawab negara menjadi tidak penting bagi tegak dan tumbuh suburnya demokrasi di negeri tercinta ini. Yang terakhir yang sering membuat kita lupa, pada saat kita melihat sejarah ke belakang adalah situasional konteks pada saat peristiwa itu berlangsung dimasa lalu, artinya banyak haldalam sejarah yang terlihat tidak relevanpada masa kini namun pada konteks situasi masa itu adalah suatu hal yang relevan. Untuk itu, dengan melihat fakta secara obyektif atas dosa-dosa PKI di masa lalu, tuntutan pembersihan terhadap dosa-dosa PKI di masa lalu, mungkinkah?  Semoga kita sadar benar terhadap sejarah pergulatan panjang negeri ini dan tidak mudah lupa….!  (Sumber: HU Pelita)

 

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel